KITA NGUPI YUK….
Sementara kedua sahabatnya, Stephani dan Soraya,
masih sibuk memilih menu, Marinka dengan manis, berkata kepada si mbak waitress
Café Moonlight, “ Seperti biasa ya, mbak “
“ Oke, mbak
Inka,” sahut si mbak yang punya name tag: Dina, dengan wajah tak kalah manis.
Maklum, ketiga perempuan itu pelanggan tetap setiap Jum’at sore menjelang
malam. Kadang mereka bersama dengan teman-teman perempuan lainnya, lebih sering
bertiga saja.
“ Nggak bosen, Ka? Latte caramel melulu. Ganti kenapa sih,” cetus Soraya dengan
mata masih menatap menu didepannya.“ Tentu tidak,” sahut yang ditanya, tertawa kecil.
“ Biar aja kenapa sih, Ya…. Dia kan selalu setia pada pilihannya,” ujar Stephani dengan senyum menggoda.
“ Nooooo….” Serentak ketiganya berseru kecil dan tergelak bersama. Membuat mbak waitress-nya ikutan tersenyum kecil.
“ Saya Jus strawberry dan cheese cake, mbak,” kata Stephani.
“ Sama deh,” Soraya menimpali dengan nada pasrah.
“ Bisanya cuma ngikut,” cibir Marinka. Kedua temannya tak peduli.
Mbak waitress-nya mencatat pesanan dan berlalu.
“ So, hari ini giliran siapa yang curhat, ya? “ Stephani buka suara lagi.
“ Marinka “ Sahut Soraya cepat.
“ Aku? “ Marinka balik bertanya. “ Oke deh “
Kedua sahabatnya langsung pasang telinga dan tampang serius.
“ It’s about Daniel Quliardo,” ujar Marinka serius. “ Inget dia, kan? Yang pernah kuceritakan dulu pada kalian ?”
“ Yang umurnya 38 tapi belum merit, padahal tampangnya lumayan ganteng? “ Tanya Soraya.
“ Yang pernah jadi clientmu dulu? Yang sudah lama nggak ketemu dan tiba-tiba menghubungimu lagi “ Tanya Stephani.
“ Yup “ Sahut Marinka.
“ Kenapa dia? “ Tanya Soraya dan Stephani
nyaris bersamaan.
Kemudian meluncurlah
cerita tentang Daniel Quliardo yang biasa dipanggil: Dan, dari mulut Marinka. Sosok
yang lumayan oke. Tingginya nyaris 180cm dengan badan yang proporsional dan
wajah yang nggak bisa dibilang jelek, tentunya membuat kaum wanita menoleh
padanya. Dia bukan pengusaha super sukses, tapi setidaknya mempunyai sebuah
bengkel mobil yang cukup ramai dibilangan Jakarta Selatan, plus satu café tak
jauh dari lokasi bengkelnya yang kalau malam minggu ada live music-nya. Soalnya
si Dan ini pecinta music dan jago main keyboard. Jadi, bolehlah dia diberi
nilai tujuh plus untuk ukuran pria yang disukai wanita. Lalu kenapa diusianya
yang ke 38 tahun dia masih melajang, bahkan pacar tetap pun tak punya? Memang
patut jadi bahan pertanyaan.
Marinka mengenalnya ketika masih bekerja sebagai Marketing disebuah perusahaan
yang menjadi supplier aneka jus siap saji untuk resto dan café se Jabodetabek.
Café milik Dan adalah pelanggan tetapnya dan jelas terlihat Dan tertarik pada
Marinka. Sebagai sesama single, Marinka tak menolak segala perhatian Dan,
apalagi sebagai client Dan adalah prospek yang lumayan bagus. Hanya saja,
Marinka tidak merasa ada yang “klik” diantara mereka, jadi dia harus mikir
seribu kali dan menolak sekian kali untuk menerima ajakan “ngupi-ngupi”-nya
Dan.
Setelah bercerita pada sahabat-sahabatnya, mereka mendorong Marinka untuk setidaknya
mencoba menerima ajakan Dan. Toh hanya ngupi-ngupi. Kalaupun akhirnya Marinka
tetap merasa bahwa Dan tidak menyenangkan, lain kali tinggal ditolak saja.
Sebagai seorang yang penuh dengan pertimbangan, Marinka baru menyetujui ajakan
Dan setelah beberapa bulan berjalan dan entah sudah berapa kali Dan tak
bosan-bosannya menelepon atau kirim SMS atau BBM. Pada suatu Jum’at, Marinka
setuju bertemu Dan disebuah café kecil di kawasan Pasar Festival dengan alasan
letaknya tak jauh dari kantor Marinka, bahkan hanya perlu berjalan kaki saja.
Dan tak perlu menjemputnya, cukup bertemu di café yang sudah disepakati.
Marinka
seperti flashback pada kejadian hari itu.
“
Hai,” sapa Dan hangat, begitu Marinka muncul.Yang disapa tersenyum. Sejenak mengamati penampilan casual Dan yang menurutnya lumayan oke. Kemeja biru lengan pendek dan blue jeans.
“ Kamu selalu cantik kalau pakai gaun batik begitu,” puji lelaki itu seraya tersenyum lebar, memperlihatkan sederet gigi putih rapi miliknya.
Marinka hanya membalas dengan senyum. Dia bukan ABG yang harus tersipu-sipu kalau dipuji, bukan?
“ Sudah lama nunggu, Dan? “ Tanyanya basa-basi.
“ Belum, kira-kira baru sepuluh menit ,”
sahut yang ditanya.
Seorang waiter datang,
Marinka memesan ice capucino dan chicken wing. Dan ikut memesan karena rupanya
daritadi dia belum pesan apa-apa. Lalu pembicaraanpun mengalir, mulai dari
cerita Marinka tentang pekerjaannya, Dan sendiri bercerita tentang bisnisnya.
Tentang keluarga masing-masing yang ternyata mereka sama-sama anak tertua.
Hanya saja Marinka punya satu adik perempuan, Dan punya dua adik laki-laki.
Kemudian tentang musik kesukaan, sampai hobi lain dan terus merembet kepada
kejadian sehari-hari yang mereka alami. Cukup menyenangkan walaupun ternyata
Dan bukan tipe laki-laki yang senang membuat jokes. Malahan Marinka yang lebih
sering menceritakan cerita lucu yang pernah dialami dan membuat Dan
tertawa-tawa mengomentarinya.
Sampai ketika Dan bertanya, “ Kamu sudah punya
pacar? “
Marinka tergelak. “ Kamu sendiri? “ Dia balik
bertanya.
“ Nggak punya,” geleng laki-laki itu.
“ Nggak punya atau terlalu pemilih? “ Sindir
Marinka.
“ Baru putus tahun lalu,” sahut Dan sambil
mengambil sepotong French Fries didepannya. Dia tampak kurang nyaman.
“ Oke “, angguk Marinka tak mau banyak bertanya.
“ Kamu? “ Dan bertanya lagi.
“ Yang terakhir
sudah….hmm….sudah lama,” Marinka tergelak. Mengingat Leon, lelaki yang pernah
dekat dengannya kalau itu bisa disebut sebagai pacar. Itu memang sudah lama dan
Leon memutuskannya tanpa alasan yang jelas, kecuali karena mereka berbeda
keyakinan. Alasan yang menurut Marinka, tidak masuk akal, karena sedari pertama
keduanya sudah tahu hal itu.
“ Kok bisa perempuan
secantik kamu bertahan sendiri? “ Tanya Dan. “ Nggak mungkin nggak banyak yang
naksir “
“ Hey, aku tiga tahun
lebih muda dari kamu. Seumur aku, dah nggak ada lagi roman model remaja gitu.
Sudah lewat…jauuuuh “ Marinka masih tergelak. Dia memang tak pernah peduli
dengan status, lebih mementingkan bagaimana seorang laki-laki bisa membuatnya
menoleh. Sayangnya belum ketemu juga laki-laki macam itu. Kalaupun ada, sudah
punya istri dan itu big No No buat dia. Teman-temannya menjulukinya Miss Choosy
atau Miss Moody, karena dengan mudah dia ilfil dengan laki-laki yang
mendekatinya, hanya karena suatu alasan sepele.
“ Kamu itu cantik, Inka. Cantik, menarik, smart
pula,” ujar Dan.
“ Hm…trus apalagi? “ Goda Marinka sambil
menatap penuh senyum.
“ Karier oke, menyenangkan diajak ngobrol…” Tambah
Dan dengan antusias.
“ Lalu? “ Marinka masih menatap dengan perasaan
geli.
“ Ah kamu ini, “ Dan tersadar lalu tertawa kecil. “
Aku yakin kamu banyak penggemar “
“ Penggemar, ya? “ Ulang Marinka. “ Banyak sih
banyak, tapi kan cuma penggemar “
“ Nah, berarti kamu yang pemilih, “ kata Dan,
tertawa. Marinka ikut tertawa.
“ Nggak ada yang salah dengan itu kan? Memilih
untuk yang terbaik,” perempuan itu berargumen.
“ Nggak salah kok,” Dan langsung menyetujui.
Kok nggak ada
perlawanan? Batin Marinka sedikit kecewa. Dia baru menyadari, sepanjang
percakapan mereka tadi, Dan cenderung mengiyakan segala pendapatnya. Padahal
perempuan itu senang beradu argumentasi. Semakin ada laki-laki yang yang
berbeda pendapat dengannya, semakin seru pembicaraan mereka. Dia tipe yang senang
melihat orang lain punya pendirian dan bisa saling menghargai pendapat
masing-masing. Kalau semua orang punya pemikiran yang sama, nggak seru lagi
rasanya. Membosankan. Disamping itu, dia jadi tidak tahu apakah pendapatnya
cocok dengan orang lain atau tidak. Bagaimana kalau dia salah atau kurang bisa
diterima? Bagaimana dia bisa tahu kalau lawan bicaranya tidak memberikan
pendapatnya sendiri. Satu nilai minus buat Dan.
Malam pun beranjak. Marinka memberi alasan,
walaupun esok hari Sabtu, dia harus pergi ke Bogor mengunjungi makam kedua orangtuanya.
Dan setuju untuk mengantarnya pulang.
“ Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya “ Kata laki-laki
itu sebelum mereka beranjak meninggalkan meja mereka.
“ Boleh,” sahut Marinka, walau dalam hatinya
ragu-ragu.
Keduanya meninggalkan café menuju parkiran.Mereka
berjalan beriringan dan tak sekalipun Dan mencoba menyentuhnya atau menggandeng
tangannya. Marinka menyukai hal itu. Dia paling anti dengan laki-laki yang
belum apa-apa sudah rajin menjamah, walaupun hanya menggandeng. Lain kalau
kasusnya sedang menyeberang jalan misalnya, itu artinya dia dilindungi.Hal-hal
kecil yang terlihat remeh, adalah hal besar untuk Marinka. Dia akan menghargai
seorang lelaki yang juga menghargainya. Tapi kalau belum-belum sudah berlaku
mesra, jangan harap besok-besok dia mau diajak pergi berdua lagi. Blacklist
langsung tanpa tedeng aling-aling. Walaupun begitu, dia tidak pernah menolak
dengan kasar. Walaupun masih memjawab telepon atau membalas SMS orang tersebut,
perempuan itu akan mengeluarkan semua alasan yang dia punya untuk menolak
ajakan seseorang. Walaupun rata-rata akhirnya para lelaki itu menyerah, tak
jarang ada juga yang tak pernah mau mengerti.
Dan membukakan pintu mobilnya untuk Marinka. Nilai
plus yang kedua. Cukup sopan, batin Marinka senang. Dia seorang yang selalu
menilai dengan obyektif. Kalau bagus ya bagus, kalau jelek ya jelek.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Marinka
dibilangan Bekasi Barat, Dan sibuk bertanya arah yang harus diambil, sesekali
mengomentari jalanan yang macetnya tak pernah berhenti. Marinka lebih banyak
mendengarkan sambil memberikan petunjuk arah yang harus diambil. Untunglah
begitu masuk tol tidak terlalu macet.
Sedan berwarna metalik itu berhenti didepan rumah
mungil yang ditempati Marinka. Perempuan itu memandang laki-laki disampingnya,
menunggu kira-kira apa yang akan dilakukan laki-laki itu. Karena biasanya ada
adegan cipika-cipiki antar teman, baik perempuan maupun laki-laki. Perempuan
itu terbiasa dengan semua itu dan tak menganggap hal itu istimewa.
“ Oke, selamat malam dan selamat istirahat, Inka.
God bless you,” ujar laki-laki itu penuh senyum, tanpa beranjak sedikitpun.
“ Oke,” sahut Marinka balas tersenyum. Dia membuka
sendiri pintu mobil itu dan beranjak menuju rumahnya. “ Hati-hati dijalan, Dan.
Jangan nyasar ya “
“ Enggaklah “ Sahut Dan. “ Bye “
“ Bye ‘
Begitulah yang terjadi. Disatu sisi Marinka merasa,
laki-laki yang bersamanya tadi bukanlah tipe yang menarik minatnya untuk
dikenal lebih jauh, tapi setidaknya dia sopan dan tak mencari kesempatan dalam
kesempitan seperti banyak laki-laki yang ditemuinya selama ini. Perempuan itu
tersenyum sendiri dan berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan tak yakin.
Ketika beberapa waktu kemudian menerima SMS dari Dan yang mengatakan kalau dia
sudah sampai dengan selamat dan mengucapkan terima kasih telah mau bertemu
dengannya, perempuan itu masih tidak yakin. Karena selama ini dia percaya pada
hatinya dan kali ini hatinya tidak berkata apa-apa. Atau masih terlalu dini?
Marinka juga tidak yakin. Hatinya mudah sekali bicara, bila sedih, atau senang,
marah, tak puas, tak suka, bahagia, semua akan dengan mudah dirasakannya. Kali
ini berbeda.
Hari-hari selanjutnya Dan makin rajin
menghubunginya. Lewat telepon, menanyakan kabarnya atau SMS dan BBM. Semuanya
serba standard dan dijawab Marinka dengan biasa pula. Dia makin tak mengerti
kenapa kali ini hatinya seperti membisu. Dia sampai tak bisa bercerita apa-apa
pada sahabat-sahabatnya tentang Dan. Semua pertanyaan mereka dijawab seadanya,
tanpa bumbu tambahan perasaannya. Sampai pada suatu hari Minggu…..
Marinka duduk sendiri disebuah resto kecil yang
menyajikan menu hidangan serba mie yang menurutnya paling enak se Jakarta. Dia
sedang menunggu Claris, adik bungsunya, yang sedang membetulkan Blackberry-nya
disebuah toko tak jauh dari situ. Perempuan itu asyik ber BBM dengan
teman-temannya. Sampai terdengar bunyi “ping”. Itu dari Dan.Dan: Dimana?
Marinka: Bakmie Kepodang dekat pertokoan Selatan
Dan: Ngapain?
Marinka: Makan mie ayam laaaah
Dan: Nggak ngajak-ngajak
Marinka: Ya hayuuuk kesinilaaaah
Dan: Ngupi aja yuuuuu
Marinka: Boleeeeh….kapan? dimana?
Dan: Terserah
Marinka: Coffee Bean PS, mau?
Dan: Ah males, rame kalo minggu gini
Marinka: Lha terus? Dimana dunk?
Dan: Dimana ya…
Marinka: Halaaaah bingung sendiri hehehe
Dan: Aku maunya tempat yang sepi dan bisa ngobrol enak denganmu
Marinka: Kamu pilih deh tempatnya
Dan: Tapi open mind ya, please…..
Walaupun sedikit bingung, perempuan itu tetap menjawab….
Marinka: Iya, tapi dimana?
Dan: Ada hotel kecil didaerah Pulo Mas, tempatnya enak deh….kesitu yuk
Marinka: Apa? Kok ngupi di hotel sih?
Dan: Jangan negative thinking dulu lah….aku gak bakalan ngapa-ngapain kok
Perempuan itu memencet tuts Blackberry-nya dengan perasaan gemas. Mimpi apa siang-siang begini diajak ngupi ke hotel kecil. Marahnya mulai muncul.
Marinka: Bukannya negative, tapi ngajak
ngupi kok kesitu?
Dan: Lho aku kan butuh tempat yang privat
dan bisa berduaan denganmu
Marinka: Setahuku kalau hotel kecil model
begitu nggak ada coffee shop-nya deh. Trus kita ngupinya dimana? Dikamar?
Dan: Memangnya kenapa kalau dikamar?
Memangnya kita mau ngapain? Kan mau ngupi
Marinka: Mending kalau ke Shangri-La atau
Grand Hyatt sekalian, coffee shopnya oke tuh…Shangri-La juga sepi, nggak
rame…..
Kepalang tanggung, pikir perempuan itu. Kalau memang mau ngajak ke hotel, ya
yang bagus dong, yang berkelas.
Lama tak ada jawaban dari laki-laki itu. Maka perempuan
itu kembali mengetik di Blackberrynya.
Marinka: Kalau mau ketemu di Coffee Bean
atau Coffee Shop Shangri-La….Tapi kalau yang kamu sebut tadi, maaf ajah
dweeeeh…..
Tetap tak ada balasan. Akhirnya perempuan itu
memutuskan untuk melupakan saja laki-laki itu dan tak bertanya lagi. Sekarang
dia tahu, kenapa hatinya tak pernah memberikan sinyal apapun atau berpendapat
tentang seorang Daniel Quliardo. Inilah jawabannya. Laki-laki itu baru saja
menampakkan aslinya. Jadi, bagaimanapun laki-laki itu berusaha menampilkan
sosok berbeda pada saat mula-mula, akhirnya ya kembali keaslinya.
Marinka adalah perempuan yang lahir dan besar di
kota besar. Atas nama semua kemunafikan, dia tetaplah perempuan biasa yang
sudah dewasa. Tapi bukan begitu cara seorang laki-laki mengajaknya kesebuah
hotel kecil dengan alasan konyol: ngupi. Kalo mau ngobrol sambil minum kopi ya
di café lah tempatnya. Kalau di hotel, bagaimanapun dia bilang nggak bakal
ngapa-ngapain, segala hal bisa terjadi. Bahkan perempuan bau kencur saja tahu apa
yang bisa terjadi.
Mereka baru pernah ketemu berduaan sekali saja dan
hanya ngobrol disebuah café pula. Bagaimana hal itu bisa membuat mereka
melangkah ke hal yang lebih lagi? Tanpa ada ikatan emosional, tanpa ada
kesepakatan untuk menjalin hubungan yang serius? Marinka tak habis pikir. Apa
sebenarnya yang ada dibenak Dan, begitu saja mengajaknya dan berpikir bahwa
perempuan itu akan setuju? Bodoh sekali pemikiran seperti itu.
***
Kembali
ke Café Moonlight, tempat tiga orang sahabat bertemu.
“ Hahahaha…..gokiiiiil,” seru Soraya. “ Terus
setelah kejadian itu, si Dan itu masih suka menghubungimu? “
“ Dia nggak tahu sedang
berhadapan dengan siapa, Ka,” komentar Stephani.
Marinka tertawa kecil. “ Anehnya masih menghubungiku lho, sampai hari ini”“ Gile, kok nggak merasa ya? “ Tanya Soraya.
“ Mungkin memang nggak merasa kalau yang dia lakukan itu nggak bener,Ya,” sahut Stephani.
“ Atau sebenarnya mengerti, tapi nggak mau mengakui,” ujar Marinka.
“ Setuju,” cetus Soraya.
“ Setuju sama siapa? “ Cibir Stephani.
“ Ya sama pendapat kalian berdua tadi,” ujar Soraya tertawa kecil.
Ketganya tertawa bersama-sama.
“ Seandainya laki-laki yang satu itu pinter, so pasti sekarang dia sudah beristri atau paling tidak punya pacar serius,” pendapat Soraya. “ Tapi karena kelakuannya yang kaku bin ajaib begitu, yang bikin dia masih lajang sampai sekarang “
” Yup, setuju Aya. Wajah ganteng tidak menjamin seorang laki-laki menjadi seseorang yang menarik,” timpal Marinka.
“ Mendingan Briptu Norman deh ya, nggak terlalu ganteng tapi menarik,” komentar Stephani agak nggak nyambung.
“ Chaiyya…chaiyya….” Soraya tergelak. “ Ngaco deh Step, kenapa jadi kesitu? “
“ Karena dia suka yang modelnya hitam manis seperti itu, Ya,” ujar Marinka.
Stephani cuma tertawa kecil, karena Marinka nggak salah. Sementara kedua sahabatnya suka dengan laki-laki berkulit terang, dia menyukai yang sebaliknya.
“ Kesimpulannya, seorang Daniel Quilardo masuk kotak nih ceritanya,” kata Soraya.
“ Kotak L, Loser!” Stephani dan Marinka berseru bersamaan. Ketiganya tertawa-tawa lagi. Beberapa pengunjung café menoleh, tapi mereka tak peduli.
Acara ngobrol-ngobrol tetap berlanjut dengan seru, tanpa sedikitpun menyebut nama Dan lagi. Laki-laki itu cuma satu dari sekian laki-laki yang tak masuk dalam hitungan bagi ketiganya. Bukan soulmate yang mereka cari. Toh hidup terus berlanjut dan mereka yakin, suatu hari menemukan apa yang mereka butuhkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar