PERFECT STRANGERS
Perfect Stranger #1 – Cerita SorayaSoraya tidak mau terlalu lama terpuruk dalam kesedihan setelah kegagalan hubungannya dengan Henry. Hidup terus berlanjut dan terlalu singkat bila harus diisi dengan kesedihan yang berlarut-larut. Dia masih punya pekerjaan, bunda yang harus dijaga dan sahabat-sahabat yang rela menemani dalam segala situasi. Jadi kalau dipikir-pikir, hidupnya tidak terlalu buruk. Bahkan masih banyak cerita yang lebih buruk diluar sana. Pernikahan yang sudah didepan mata dan tiba-tiba harus gagal, misalnya, itu malah amat sangat buruk. Seperti yang pernah dibacanya pada sebuah tabloid wanita, tentang kisah seorang selebriti yang sudah memesan gedung, catering, baju kebaya dan bahkan berpamitan dalam acara yang dipandunya di teve. Tiba-tiba saja sang tunangan memutuskan secara sepihak, tanpa alasan yang jelas dan hanya lewat SMS. Bayangkan! Tapi dibalik semuanya itu, yakin ada rencana Tuhan yang terbaik. Untuk dirinya maupun juga si selebritis itu.
Sampai suatu hari, Lena seorang teman lama, mengenalkan Soraya pada Dedy, seorang kenalannya. Hanya lewat WA, Lena meminta ijin pada untuk memberikan pinnomer HP Soraya pada laki-laki itu. Lena adalah teman lama dikantor yang dulu dan Soraya percaya padanya, maka permintaannya dikabulkan tanpa piker panjang lagi. Begitulah Soraya kenal Dedy. Laki-laki keturunan asal Bangka yang sejak saat itu menjadi teman chatting via WA. Orangnya lugas dan ceplas-ceplos, senang bercerita panjang lebar. Dia bekerja sebagai IT disebuah perusahaan Swasta Nasional didaerah Kelapa Gading. Dari fotonya yang terlihat di profilnya, dia agak gendut dan umurnya lima tahun diatas Soraya. Bolehlah, pikirnya. Beralih dari brondong ke seseorang yang lebih mature, sebuah kemajuan bukan?
Ketika akhirnya mereka tak hanya chatting, beberapa kali dia menghubungi Soraya dan bertukar cerita. Begitu seterusnya, chatting dan ngobrol ditelepon menjadi bagian dari kesehariannya. Soraya sudah bercerita sedikit tentang Dedy pada Inka dan Step. Mereka mendorongnya untuk mencoba saja dulu, siapa tahu bisa cocok. Maka dia nikmati semua itu dan makin merasa klik ngobrol dengan laki-laki itu. Sikapnya yang penuh perhatian, membuatnya senang.
Setelah dua minggu berjalan, Dedy memutuskan untuk datang kerumahnya. Sebelumnya Soraya sudah memberi informasi tentang Dedy kepada bunda, agar bunda tak bertanya-tanya nantinya. Pada dasarnya bunda tak keberatan dan menerima siapapun yang ingin berteman dengan putrid bungsunya itu. Mungkin bunda sudah belajar dari pengalaman sebelumnya dengan mantan pacar yang pertama, Rustiar. Dulu bunda tak setuju karena mereka berbeda suku. Rustiar dari Sumatra sana. Dan setelah akhirnya bunda bisa menerima, hubungan mereka malah kandas dan Rustiar menikah dengan orang lain dan kini sudah mempunyai dua anak.
Dedy benar-benar datang kerumah Soraya pada suatu Minggu pagi yang agak mendung. Penampilannya tak jauh berbeda dengan fotonya, agak gendut dan berkacamata. Hanya satu yang kurang sreg buat Soraya adalah perutnya yang agak buncit. Selebihnya, dia ternyata memang senang ngobrol. Dengan bunda saja dia bisa langsung bercerita macam-macam, sebelum akhirnya bunda yang sudah mulai sepuh itu berpamitan akan istirahat dikamarnya. Tinggallah mereka berdua ngobrol diruang tamu karena memang hanya ada Soraya berdua dengan bundanya yang tinggal dirumah peninggalan almarhum ayah itu, sementara keempat kakaknya tinggal berpencar-pencar di Jakarta dan satu di Bogor.
Mereka berdua melanjutkan obrolan dengan asyik, diselingi acara makan siang masakan buatan bunda dan sesekali mengalihkan perhatian kearah teve bila ada yang menarik. Berjam-jam berlalu tanpa terasa, sampai hari beranjak sore. Soraya sempat pamit untuk mandi sebentar dan kembali menemaninya ngobrol.Heran juga bisa tahan sekian lama tanpa kehabisan bahan obrolan. Sampai ketika menjelang jam 7 malam dan berpikir untuk membeli hidangan makan malam, tiba-tiba saja Dedy mengatakan sesuatu yang membuatnya sedikit kaget.
“ Aya, kalau aku kemalaman, aku menginap saja disini ya? “ Katanya.
Soraya bengong sejenak. Nggak salah nih orang? Baru juga pertama kali datang sudah minta menginap segala. Diamati wajah laki-laki itu, mencari tahu apakah dia sedang bercanda atau serius. Tapi tidak bisa menemukan jawabannya, karena dia mengatakannya dengan ringan begitu saja, tanpa ekspresi.
“ Nggak salah, Ded? Memangnya rumahku hotel, bisa seenaknya menginap? “ Tanya Soraya sambil tertawa-tawa setengah bercanda, setengah serius.
Laki-laki itu ikut tertawa, tanpa ada ekspresi aneh diwajahnya, seperti semuanya biasa-biasa saja baginya. Lalu ucapan dia selanjutnya, makin membuatku terperangah.
“ Ngomong-ngomong, Aya, kapan-kapan kita ke Bandung, yuk. Jalan dari Jum’at malam, hari Minggunya baru kembali. Tapi ambil kamar hotelnya satu saja, biar irit “ Katanya lugas dan tenang.
Tinggal Soraya yang bengong untuk kedua kalinya. “ Helloooo….you are a perfectly stranger to me”, pikirnya setengah panik. Untung berada dirumah sendiri, kalau tidak mungkin dia sudah kabur meninggalkan laki-laki itu. Jadi ingat kasus Marinka dengan Daniel Q. Masalahnya, Inka pernah bilang kalau perasaannya terhada Dan waktu itu, flat saja. Sedangkan Soraya mulai suka dengan laki-laki yang satu ini dan berpikir untuk mempertimbangkannya bila suatu ketika hubungan mereka menjadi lebih dari sekedar teman ngobrol biasa.
“ Bilang kalau kamu sedang bercanda. Iya kan? “ Tanyanya bingung mau ngomong apa.
“ Lho, memangnya kenapa? “ Dedy balik bertanya. Wajahnya betul-betul datar tanpa ekspresi.
Soraya tidak tahu harus bagaimana. Apakah dia sedang menguji dengan semua ucapan-ucapannya itu? Ataukah dia memang serius mengatakannya. Tapi Soraya juga nggak bisa ilfil karena merasa klik ngobrol dengannya. Hah, dia jadi bingung sendiri.
Perfect Stranger #2 – Cerita Marinka
Pertama kali menerima pesannya via situs pertemanan untuk para traveler, Marinka langsung tertarik pada sosoknya yang tinggi besar dan senyumnya yang ramah. Namanya Russel Klaas, asal Belanda yang tinggal di Den Haag. Dia bilang dia punya sedikit darah Indonesia dari buyutnya, tapi belum pernah sekalipun datang ke Indonesia. Dia bermaksud berkunjung ke Jakarta dalam rangka liburan Natal yang jatuh dua minggu lagi dan berharap Marinka mau menemaninya sebagai guide selama berada di Jakarta. Tentu saja dia tak menolak. Tujuannya sebagai anggota situs itu, adalah mendapatkan sebanyak mungkin teman dari segala penjuru dunia dan memperkenalkan negri tercinta ini kepada dunia luar. Supaya mereka tidak takut datang berkunjung dengan segala macam Travel Warning yang pernah diberitakan
Oke Russel, just inform me what’s the exact date so I can arrange my schedule #Marinka Destiany# (Oke Russel, beritahu saya kapan tepatnya supaya saya bisa mengatur jadwal)
Balasan yang kuterima: For sure, Marinka. I let you know #Russel Klaas# (Tentu saja, Marinka. Saya akan memberitahukanmu)
Sementara itu ternyata Russel langsung meng-add-ku sebagai temannya di Facebook d. Mereka langsung bisa chatting di Messenger dan dia banyak mengomentari foto-foto yang di upload di Facebook. Satu hal yang membuat Marinka merasa, dia lain daripada yang lain adalah, dia seperti mau tahu segala sesuatunya tentang dirinya. Melihat fotoku bersama seekor kucing dia bertanya apakah Marinka seorang pecinta kucing, padahal itu kucing milik tetangga yang kebetulan datang saat itu. Dia juga menanyakan siapa kedua perempuan yang banyak sekali foto-fotonya bersamanya. Ketika kujawab, itu Soraya dan Stephani, dua sahabat dekat, lucunya dia bilang ingin berkenalan dengan mereka juga supaya bisa bertanya-tanya tentang Marinka. Lalu dijawab seharusnya dia bertanya sendiri. Tapi menurutnya, akan lebih obyektif bila orang lain yang menilai, apalagi sahabat sendiri.
Russel mengatakan dia ingin sekali merasakan
masakan Indonesia. Dia bahkan khusus searching tentang masakan-masakan yang
ingin dicobanya. Dia menyebutkan Rendang, Sate, Soto dan Nasi goreng dan
bertanya bagaimana rasanya. Karena terbiasa masak dan memang suka memasak,
dengan senang hati Marinka menjelaskan, mulai dari bumbu, cara membuatnya,
sampai rasanya. Betapa bahagianya ketika dia bilang bahwa Marinka berbeda
dengan perempuan-perempuan Indonesia lainnya yang juga dia kenal via internet.
Karena gadis itu begitu fasih bercerita dan tidak membuatnya bosan chatting dan
bertukar cerita dengannya. Tak lupa setiap kali Marinka memasak masakan
Indonesia, difoto dan langsung mengirim padanya disertai penjelan tentang rasa
masakan itu. Seringkali dia bilang, sudah nggak sabar ingin mencoba semuanya.
Dia menyebut dirinya sebagai pecinta kuliner.
“ Woy woy woy, mimpi hare gene….” Soraya tergelak ketika Marinka menceritakan
padanya tentang Russel. “ Belum juga ketemu, sudah jatuh cinta”“ Eh, siapa yang jatuh cinta, sih? “ Protesnya. Tapi dia merasakan pipinya menghangat dan pasti kedua sahabatnya itu melihat semburat merah yang tak bisa disembunyikan.
“ Aya, bermimpi itu bagus kok,” bela Stephani. “ Membuat hidup lebih hidup “
“ Thanks, Step,” senyum Marinka sedikit malu.
“ Bagaimana kalau dia nggak jadi datang? “ Gurau Soraya menggoda. Walau dia tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia memang suka begitu, bercanda terus.
“ Jangan bilang begitu dong, Aya,” Stephani membela lagi. “ Berharap itu yang bagus-bagus saja, yang positif-positif saja “
“ Lho, aku kan hanya tanya, gimana kalau Russel nggak jadi datang? “ Soraya membela diri, menatap sahabatnya dengan wajah dibuat bersungguh-sungguh.
“ Ya sudahlah,” sahut Marinka ringan, membuat
yang lain tertawa.
“ Ini yang aku suka dari Inka, kalau ada apa-apa,
dia pasti ngomong: ya sudahlah…” Soraya masih tergelak.
“ Apapun yang terjadi, kukan slalu ada untukmu.
Janganlah kau bersedih, cause everything’s gonna be okay…” Tambah Stephani
bernyanyi lagunya Bondan Prakoso.
Marinka mengakui hari-hari yang dilalui nyaris selalu berisi chatting dengan
Russel, mengubah jam tidurnya. Karena perbedaan waktu sekitar 6 jam, memaksanya
untuk bangun sekitar jam 2 malam dan membuka notebook adalah hal yang rutin
sekarang. Berkorban untuk tidur beberapa jam saja dan tertidur di angkot ketika
berangkat kerja, jadi hal yang biasa. He is a perfect stranger yang mampu
menjungkirbalikkan dunianya. Dua minggu terasa sangat lama baginya.
Sementara Russel sibuk membuat jadwal, apa saja yang akan dilakukannya
selama di Jakarta nanti, Marinka sibuk menata hatinya sendiri. Sepertinya
Soraya benar, dia jatuh cinta bahkan sebelum bertemu langsung dengan Russel.
Jadi ingat lagunya Savage Garden: I knew I love you before I met you…..hah
hah.Dua minggu berlalu, Russel malah menghilang. Beberapa kali e-mail tak berbalas dan tak ada lagi chatting dini hari. Marinka mulai sedikit panik, teringat candaan Soraya tempo hari. Apakah Russel tak jadi datang. Selang beberapa hari kemudian, dia mendapatkan jawabannya. Russel mengirimi e-mail, meminta maaf karena dirinya tak bisa datang. Salju tebal menutupi permukaan bandara dan banyak penerbangan yang dibatalkan, termasuk penerbangan yang sudah dibookingnya. Marinka juga membaca tentang hal itu di Koran. Russel mencoba mencari penerbangan lainnya tapi baru berhasil mendapatkan penerbangan untuk tanggal yang masih jauh, dua minggu lagi. Sedangkan dia hanya punya waktu liburan selama 3 minggu dan itu berarti tidaklah memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke Indonesia.
Walaupun dirinya sendiri kecewa, Marinka bilang pada Russel untuk tidak kecewa. Dia katakan padanya, pada sebuah peristiwa, pasti ada sesuatu hikmah yang bisa diambil. Akhir ketika mereka kembali chatting di Messenger, mereka berjanji tetap menjadi teman dan akan terus chatting. Marinka meng-iya-kan saja walau diam-diam membuang semua harapan yang pernah ada. Bagaimana mungkin akan terus mengharapkan seseorang yang bahkan belum pernah kutemui?
*
Soraya menunduk, tangannya memainkan pengaduk minumannya. Marinka menatap
keluar jendela café, melihat kesibukan jalan Sudirman yang padat. Stephani
daritadi sibuk makan seporsi Lasagna pesanannya. Tak ada yang berkata-kata,
sibuk dengan pikiran masing-masing.“ Huaaaah….habis jugaaaa….kenyaaaang,” suara Stephani yang tiba-tiba, mengagetkan yang lain.
Soraya melempar bantal kursi kecil kearahnya, kena kepala Stephani. “ Ngagetin aja sih “
Marinka terkikik geli, sementara sekarang Stephani yang kaget karena tiba-tiba ada bantal mampir kekepalanya.
“ Aya! “ Pekik Stephani. “ Kamu yang ngagetin aku “
Soraya dan Marinka tertawa geli melihat bibir tipis
Stephani yang manyun.
Tiba-tiba handphone Soraya berbunyi, dia minta ijin
untuk mengangkatnya dan agak menjauh.
“ Paling telepon dari Dedy,” ujar Stephani.
“ Dia masih jalan sama Dedy? “ Tanya Marinka.
Stephani mengangguk. “ Kamu sendiri masih chatting
sama Russel, Inka? “ Dia balik bertanya.
“ Masih,” angguk yang ditanya. “ Dan kamu masih
sama Zoland, kan? “
“ Enggak,” geleng Stephani berusaha biasa-biasa
saja, menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “ Sudah seminggu ini dia
nggak menghubungiku. Aku juga nggak mau menelpon duluan “
“ Kenapa? Dia balik sama pacarnya? “ Tebak Marinka
dengan nada prihatin.
Stephani hanya mengangguk.
“ So sorry to hear that, Step,” suara Marinka
pelan. Walaupun sejak semula hal itu sudah diprediksinya, dia masih ikut sedih
juga. Apalagi sekarang diapun mengalami rasa kecewa yang setali tiga uang
begini.
Soraya kembali. Langsung duduk dan menatap kedua
sahabatnya, bergantian. “ Kenapa pada diam? Ada cerita apa selama aku terima
telepon tadi? “
“ Itu dari Dedy, ya? “ Stephani tak menjawab, malah
bertanya.
“ Iya,” angguk Soraya tenang. Meraih gelas dan
meminum isinya. “ Ngajak ketemuan lusa “
“ Tumben kamu nggak ilfil, padahal menurut
ceritamu, dia kasih ajakan aneh yang kamu tolak mentah-mentah,” ujar Stephani.
Dia memang yang paling terus terang diantara ketiganya. Sementara Marinka masih
diam saja, hanya mendengarkan.
“ Russel masih sering chatting denganmu, Inka? “
Kali ini Soraya yang tak mengacuhkan kata-kata Stephani, malah menatap Marinka
yang duduk persis didepannya.
Marinka menatap layar HPnya, membuka situs Facebook
dan memperlihatkan pada kedua sahabatnya. Ada poke dari Russel. Stephani
langsung nyengir. Soraya tersenyum geli.
“ Chatting sesekali, lebih banyak dia kirim poke
buat aku lewat Facebook. Entah apa maksudnya, kalau aku tanya dia hanya
menjawab, aku senang poke kamu. Itu saja. Lama-lama aku terbiasa,” ujar Marinka
ikut tersenyum geli.
Kemudian Soraya bercerita tentang Dedy. Kedua
temannya sudah tahu cerita awalnya, kali ini dia melanjutkan. Semula dia nyaris
berpikir untuk tak mau lagi berteman dengan laki-laki itu karena baru pertama
bertemu saja sudah bilang mau nginap dan mengajak ke Bandung, tinggal sekamar
pula. Tapi dia berpikir untuk member kesempatan buat Dedy dan dirinya untuk
lebih saling mengenal satu sama lain. Mungkin saja Dedy berkata begitu untuk
memancing reaksinya. Toh selama ini Soraya tak menemukan ‘kesalahan’ Dedy yang
lain. Obrolan mereka nyambung, kalau cerita juga asyik dan yang paling penting,
Dedy tak pernah dengan sengaja menyentuhnya, memegang tangannya, apalagi
berbuat lebih dari itu.
Selanjutnya giliran Stephani yang curhat. Dia belum menceritakan apa yang
sebenarnya telah terjadi antara dia dan Zoland. Walaupun yakin sahabat-sahabatnya
telah dapat membaca situasi yang sebenarnya, tapi belum mengetahui langsung
dari dirinya. Stephani menyadari posisinya sejak semula. Dia tahu tak ada yang
bisa diharapkannya dari seorang Zoland. Tak pernah ada kata komitmen, sayang
atau apalah namanya. Jadi kalau akhirnya laki-laki itu kembali kepada Debbie,
ya memang sudah sewajarnya.“ Setidaknya aku bahagia pernah mengenalnya dan merasa bahagia walaupun hanya sebentar, “ kata Stephani menutup curhatnya.
“ Nah sekarang kamu tahu bagaimana perasaan Inka waktu kehilangan Khan dulu itu,” ujar Soraya menanggapi.
“ Dan perasaan Soraya bersama Dedy,” Marinka menambahkan.
“ Beda kali, Ka. Dedy kan masih bersamanya,” Stephani berujar. “ Terus Inka juga, kenapa sih selalu saja begini? Maksudku, waktu itu dengan Khan, sekarang dengan Russel “
“ Lha daripada dengan Daniel Quliardo
yang kurang ajar itu,” sanggah Soraya.
“ Iya, ya “ Stephani menyetujui.“ Dengan Khan, aku masih berhubungan baik, chatting dan bertukar e-mail kok,” kata Marinka tenang. “ Dengan Russel, ya seperti yang kalian lihat sendiri lah, full of poke…hahaha “
“ Kita juluki saja si Russel itu Mr. Poke,” canda Soraya.
Ketiganya tertawa.
“ Atau Mr. Poker,” tambah Stephani.
“ Popopopopopo poker face…..” Serentak ketiganya menyanyikan sepenggal syair lagunya Lady Gaga dan tertawa-tawa.
“ Kalau soal Dan sih, lupakan saja,” ucap Soraya disela-sela tawanya. “ Dia masih nggak tahu diri lho, masih SMS Inka “
“ Ya ampun, bener Ka? “ Stephani tak percaya.
Yang ditanya tertawa kecil dan mengangguk.
“ Masih ngajak yang macem-macem? “ Tanya Stephani ingin tahu.
“ Jangan salah, masih banget,” Soraya yang menjawab sambil tertawa-tawa.
“ Sadis,” komentar Stephani. Entah apa yang menurutnya sadis.
Marinka masih tertawa-tawa. Dia ingat beberapa hari yang lalu mendapatkan SMS dari Dan yang mengajaknya bertemu disebuah hotel bintang empat dibilangan Jakarta Pusat. Mungkin kali ini laki-laki itu berpikir, kalau diajak ketemuan di hotel berbintang, Marinka mau. Memang aneh laki-laki yang satu itu. Mungkin tidak pernah tahu tata cara pergaulan atau begitu desperate-nya ingin bersama seorang perempuan didalam sebuah kamar hotel.
“ Kenapa dia nggak ke daerah kota saja ya, kan banyak cewek yang bisa diajak ngamar,” ujar Stephani.
“ Hush, ngawur kamu,” timpal Marinka tersenyum. “ Mana mau dia begitu “
“ Lha, habisnya ngajak kamu macam kamu perempuan yang gampang diajak saja,” Stephani tak mau kalah.
“ Beda lah, step. Kalau dengan cewek-cewek model begitu kan sama saja membeli, ada transaksi. Kalau dengan kita-kita kan harapannya ada sebuah hubungan yang terjalin. Ada perhatian, ada sayang-sayangan,” ucap Soraya panjang lebar.
“ Hanya caranya yang salah,” kata Marinka bijak. “ Bukan begitu caranya mendekati perempuan. Ambil hatinya dulu, baru melangkah ketahap selanjutnya. Tapi juga jangan bablas lah “
Stephani tertawa mendengarnya.
“ Jangan salah, Dan pernah telepon aku, bilang kalau aku itu cantik, seksi dan dia sangat ingin punya istri aku “ Kata Marinka tenang.
“ Hah? Serius kau dia pernah bilang begitu? “ Soraya kaget. “ Kok nggak pernah cerita? “
“ Ya ampun, itu laki-laki model apa sih? “ Stephani tergelak geli. “ Nggak pernah bilang cinta, nggak pernah bilang sayang, nggak pernah jadi pacar, kok tahu-tahu mau jadiin istri “
“ Laki-laki kuper pastinya,” Soraya menimpali, ikut geli.
“ Sudah ah, jangan ngomongin dia terus, kasihan dia,” Marinka menengahi.
“ Iya, nanti dia kesandung-sandung lho,” canda
Soraya.
“ Nobody’s perfect, kan? “ Marinka kembali berkata dengan tenang. “ Lihat Aya
sekarang, masih memberikan kesempatan kepada Dedy dan dia tidak takut kalaupun
nanti tak sesuai harapannya ““ Aku juga nggak takut untuk jatuh cinta lagi,” Stephani menambahkan.
Marinka terseyum memandang kedua sahabatnya. Dia juga tidak takut melangkah, walaupun saat ini masa depannya belum pasti, hubungannya dengan laki-laki yang menempati tempat istimewa dihatinya, Khan dan juga Russel, juga belum pasti.
Tidak ada yang pasti didunia ini. Tidak ada yang sempurna karena dunia juga tidak sempurna. Dan bukan kesempurnaan pada seorang laki-laki yang mereka cari, karena merekapun menyadari kekurangan diri masing-masing. Tapi mengenal seseorang yang berkepribadian baik, cocok dengan pribadi masing-masing dan memiliki karakter yang kuat, itu yang mereka harapkan dan masih mereka cari.
***