Senin, 25 Juli 2011

PERFECT STRANGERS

PERFECT STRANGERS
Perfect Stranger #1 – Cerita Soraya
               Soraya tidak mau terlalu lama terpuruk dalam kesedihan setelah kegagalan hubungannya dengan Henry. Hidup terus berlanjut dan terlalu singkat bila harus diisi dengan kesedihan yang berlarut-larut. Dia masih punya pekerjaan, bunda yang harus dijaga dan sahabat-sahabat yang rela menemani dalam segala situasi. Jadi kalau dipikir-pikir, hidupnya tidak terlalu buruk. Bahkan masih banyak cerita yang lebih buruk diluar sana. Pernikahan yang sudah didepan mata dan tiba-tiba harus gagal, misalnya, itu malah amat sangat buruk. Seperti yang pernah dibacanya pada sebuah tabloid wanita, tentang kisah seorang selebriti yang sudah memesan gedung, catering, baju kebaya dan bahkan berpamitan dalam acara yang dipandunya di teve. Tiba-tiba saja sang tunangan memutuskan secara sepihak, tanpa alasan yang jelas dan hanya lewat SMS. Bayangkan! Tapi dibalik semuanya itu, yakin ada rencana Tuhan yang terbaik. Untuk dirinya maupun juga si selebritis itu.
               Sampai suatu hari, Lena seorang teman lama, mengenalkan Soraya pada Dedy, seorang kenalannya. Hanya lewat WA, Lena meminta ijin pada untuk memberikan pinnomer HP Soraya pada laki-laki itu. Lena adalah teman lama dikantor yang dulu dan Soraya percaya padanya, maka permintaannya dikabulkan tanpa piker panjang lagi. Begitulah Soraya kenal Dedy. Laki-laki keturunan asal Bangka yang sejak saat itu menjadi teman chatting via WA. Orangnya lugas dan ceplas-ceplos, senang bercerita panjang lebar. Dia bekerja sebagai IT disebuah perusahaan Swasta Nasional didaerah Kelapa Gading. Dari fotonya yang terlihat di profilnya, dia agak gendut dan umurnya lima tahun diatas Soraya. Bolehlah, pikirnya. Beralih dari brondong ke seseorang yang lebih mature, sebuah kemajuan bukan?
               Ketika akhirnya mereka tak hanya chatting, beberapa kali dia menghubungi Soraya dan bertukar cerita. Begitu seterusnya, chatting dan ngobrol ditelepon menjadi bagian dari kesehariannya. Soraya sudah bercerita sedikit tentang Dedy pada Inka dan Step. Mereka mendorongnya untuk mencoba saja dulu, siapa tahu bisa cocok. Maka dia nikmati semua itu dan makin merasa klik ngobrol dengan laki-laki itu. Sikapnya yang penuh perhatian, membuatnya senang.
               Setelah dua minggu berjalan, Dedy memutuskan untuk datang kerumahnya. Sebelumnya Soraya sudah memberi informasi tentang Dedy kepada bunda, agar bunda tak bertanya-tanya nantinya. Pada dasarnya bunda tak keberatan dan menerima siapapun yang ingin berteman dengan putrid bungsunya itu. Mungkin bunda sudah belajar dari pengalaman sebelumnya dengan mantan pacar yang pertama, Rustiar. Dulu bunda tak setuju karena mereka berbeda suku. Rustiar dari Sumatra sana. Dan setelah akhirnya bunda bisa menerima, hubungan mereka malah kandas dan Rustiar menikah dengan orang lain dan kini sudah mempunyai dua anak.
               Dedy benar-benar datang kerumah Soraya pada suatu Minggu pagi yang agak mendung. Penampilannya tak jauh berbeda dengan fotonya, agak gendut dan berkacamata. Hanya satu yang kurang sreg buat Soraya adalah perutnya yang agak buncit. Selebihnya, dia ternyata memang senang ngobrol. Dengan bunda saja dia bisa langsung bercerita macam-macam, sebelum akhirnya bunda yang sudah mulai sepuh itu berpamitan akan istirahat dikamarnya. Tinggallah mereka berdua ngobrol diruang tamu karena memang hanya ada Soraya berdua dengan bundanya yang tinggal dirumah peninggalan almarhum ayah itu, sementara keempat kakaknya tinggal berpencar-pencar di Jakarta dan satu di Bogor.
               Mereka berdua melanjutkan obrolan dengan asyik, diselingi acara makan siang masakan buatan bunda dan sesekali mengalihkan perhatian kearah teve bila ada yang menarik. Berjam-jam berlalu tanpa terasa, sampai hari beranjak sore. Soraya sempat pamit untuk mandi sebentar dan kembali menemaninya ngobrol.Heran juga bisa tahan sekian lama tanpa kehabisan bahan obrolan. Sampai ketika menjelang jam 7 malam dan berpikir untuk membeli hidangan makan malam, tiba-tiba saja Dedy mengatakan sesuatu yang membuatnya sedikit kaget.
               “ Aya, kalau aku kemalaman, aku menginap saja disini ya? “ Katanya.
               Soraya bengong sejenak. Nggak salah nih orang? Baru juga pertama kali datang sudah minta menginap segala. Diamati wajah laki-laki itu, mencari tahu apakah dia sedang bercanda atau serius. Tapi tidak bisa menemukan jawabannya, karena dia mengatakannya dengan ringan begitu saja, tanpa ekspresi.
               “ Nggak salah, Ded? Memangnya rumahku hotel, bisa seenaknya menginap? “ Tanya Soraya sambil tertawa-tawa setengah bercanda, setengah serius.
               Laki-laki itu ikut tertawa, tanpa ada ekspresi aneh diwajahnya, seperti semuanya biasa-biasa saja baginya. Lalu ucapan dia selanjutnya, makin membuatku terperangah.
               “ Ngomong-ngomong, Aya, kapan-kapan kita ke Bandung, yuk. Jalan dari Jum’at malam, hari Minggunya baru kembali. Tapi ambil kamar hotelnya satu saja, biar irit “ Katanya lugas dan tenang.
               Tinggal Soraya yang bengong untuk kedua kalinya. “ Helloooo….you are a perfectly stranger to me”, pikirnya setengah panik. Untung berada dirumah sendiri, kalau tidak mungkin dia sudah kabur meninggalkan laki-laki itu. Jadi ingat kasus Marinka dengan Daniel Q. Masalahnya, Inka pernah bilang kalau perasaannya terhada Dan waktu itu, flat saja. Sedangkan Soraya mulai suka dengan laki-laki yang satu ini dan berpikir untuk mempertimbangkannya bila suatu ketika hubungan mereka menjadi lebih dari sekedar teman ngobrol biasa.
               “ Bilang kalau kamu sedang bercanda. Iya kan? “ Tanyanya bingung mau ngomong apa.
               “ Lho, memangnya kenapa? “ Dedy balik bertanya. Wajahnya betul-betul datar tanpa ekspresi.
               Soraya tidak tahu harus bagaimana. Apakah dia sedang menguji dengan semua ucapan-ucapannya itu? Ataukah dia memang serius mengatakannya. Tapi Soraya juga nggak bisa ilfil karena merasa klik ngobrol dengannya. Hah, dia jadi bingung sendiri.
Perfect Stranger #2 – Cerita Marinka
               Pertama kali menerima pesannya via situs pertemanan untuk para traveler, Marinka langsung tertarik pada sosoknya yang tinggi besar dan senyumnya yang ramah. Namanya Russel Klaas, asal Belanda yang tinggal di Den Haag. Dia bilang dia punya sedikit darah Indonesia dari buyutnya, tapi belum pernah sekalipun datang ke Indonesia. Dia bermaksud berkunjung ke Jakarta dalam rangka liburan Natal yang jatuh dua minggu lagi dan berharap Marinka mau menemaninya sebagai guide selama berada di Jakarta. Tentu saja dia tak menolak. Tujuannya sebagai anggota situs itu, adalah mendapatkan sebanyak mungkin teman dari segala penjuru dunia dan memperkenalkan negri tercinta ini kepada dunia luar. Supaya mereka tidak takut datang berkunjung dengan segala macam Travel Warning yang pernah diberitakan
               Oke Russel, just inform me what’s the exact date so I can arrange my schedule #Marinka Destiany# (Oke Russel, beritahu saya kapan tepatnya supaya saya bisa mengatur jadwal)
               Balasan yang kuterima: For sure, Marinka. I let you know #Russel Klaas# (Tentu saja, Marinka. Saya akan memberitahukanmu)
               Sementara itu ternyata Russel langsung meng-add-ku sebagai temannya di Facebook d. Mereka langsung bisa chatting di Messenger dan dia banyak mengomentari foto-foto yang di upload di Facebook. Satu hal yang membuat Marinka merasa, dia lain daripada yang lain adalah, dia seperti mau tahu segala sesuatunya tentang dirinya. Melihat fotoku bersama seekor kucing dia bertanya apakah Marinka seorang pecinta kucing, padahal itu kucing milik tetangga yang kebetulan datang saat itu. Dia juga menanyakan siapa kedua perempuan yang banyak sekali foto-fotonya bersamanya. Ketika kujawab, itu Soraya dan Stephani, dua sahabat dekat, lucunya dia bilang ingin berkenalan dengan mereka juga supaya bisa bertanya-tanya tentang Marinka. Lalu dijawab seharusnya dia bertanya sendiri. Tapi menurutnya, akan lebih obyektif bila orang lain yang menilai, apalagi sahabat sendiri.
Russel mengatakan dia ingin sekali merasakan masakan Indonesia. Dia bahkan khusus searching tentang masakan-masakan yang ingin dicobanya. Dia menyebutkan Rendang, Sate, Soto dan Nasi goreng dan bertanya bagaimana rasanya. Karena terbiasa masak dan memang suka memasak, dengan senang hati Marinka menjelaskan, mulai dari bumbu, cara membuatnya, sampai rasanya. Betapa bahagianya ketika dia bilang bahwa Marinka berbeda dengan perempuan-perempuan Indonesia lainnya yang juga dia kenal via internet. Karena gadis itu begitu fasih bercerita dan tidak membuatnya bosan chatting dan bertukar cerita dengannya. Tak lupa setiap kali Marinka memasak masakan Indonesia, difoto dan langsung mengirim padanya disertai penjelan tentang rasa masakan itu. Seringkali dia bilang, sudah nggak sabar ingin mencoba semuanya. Dia menyebut dirinya sebagai pecinta kuliner.
               “ Woy woy woy, mimpi hare gene….” Soraya tergelak ketika Marinka menceritakan padanya tentang Russel. “ Belum juga ketemu, sudah jatuh cinta”
               “ Eh, siapa yang jatuh cinta, sih? “ Protesnya. Tapi dia merasakan pipinya menghangat dan pasti kedua sahabatnya itu melihat semburat merah yang tak bisa disembunyikan.
               “ Aya, bermimpi itu bagus kok,” bela Stephani. “ Membuat hidup lebih hidup “
               “ Thanks, Step,” senyum Marinka sedikit malu.
               “ Bagaimana kalau dia nggak jadi datang? “ Gurau Soraya menggoda. Walau dia tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia memang suka begitu, bercanda terus.
               “ Jangan bilang begitu dong, Aya,” Stephani membela lagi. “ Berharap itu yang bagus-bagus saja, yang positif-positif saja “
               “ Lho, aku kan hanya tanya, gimana kalau Russel nggak jadi datang? “ Soraya membela diri, menatap sahabatnya dengan wajah dibuat bersungguh-sungguh.
 “ Ya sudahlah,” sahut Marinka ringan, membuat yang lain tertawa.
“ Ini yang aku suka dari Inka, kalau ada apa-apa, dia pasti ngomong: ya sudahlah…” Soraya masih tergelak.
“ Apapun yang terjadi, kukan slalu ada untukmu. Janganlah kau bersedih, cause everything’s gonna be okay…” Tambah Stephani bernyanyi lagunya Bondan Prakoso.
               Marinka mengakui hari-hari yang dilalui nyaris selalu berisi chatting dengan Russel, mengubah jam tidurnya. Karena perbedaan waktu sekitar 6 jam, memaksanya untuk bangun sekitar jam 2 malam dan membuka notebook adalah hal yang rutin sekarang. Berkorban untuk tidur beberapa jam saja dan tertidur di angkot ketika berangkat kerja, jadi hal yang biasa. He is a perfect stranger yang mampu menjungkirbalikkan dunianya. Dua minggu terasa sangat lama baginya.  Sementara Russel sibuk membuat jadwal, apa saja yang akan dilakukannya selama di Jakarta nanti, Marinka sibuk menata hatinya sendiri. Sepertinya Soraya benar, dia jatuh cinta bahkan sebelum bertemu langsung dengan Russel. Jadi ingat lagunya Savage Garden: I knew I love you before I met you…..hah hah.
               Dua minggu berlalu, Russel malah menghilang. Beberapa kali e-mail tak berbalas dan tak ada lagi chatting dini hari. Marinka mulai sedikit panik, teringat candaan Soraya tempo hari. Apakah Russel tak jadi datang. Selang beberapa hari kemudian, dia mendapatkan jawabannya. Russel mengirimi e-mail, meminta maaf karena dirinya tak bisa datang. Salju tebal menutupi permukaan bandara dan banyak penerbangan yang dibatalkan, termasuk penerbangan yang sudah dibookingnya. Marinka juga membaca tentang hal itu di Koran. Russel mencoba mencari penerbangan lainnya tapi baru berhasil mendapatkan penerbangan untuk tanggal yang masih jauh, dua minggu lagi. Sedangkan dia hanya punya waktu liburan selama 3 minggu dan itu berarti tidaklah memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke Indonesia.
               Walaupun dirinya sendiri kecewa, Marinka bilang pada Russel untuk tidak kecewa. Dia katakan padanya, pada sebuah peristiwa, pasti ada sesuatu hikmah yang bisa diambil. Akhir ketika mereka kembali chatting di Messenger, mereka berjanji tetap menjadi teman dan akan terus chatting. Marinka meng-iya-kan saja walau diam-diam membuang semua harapan yang pernah ada. Bagaimana mungkin akan terus mengharapkan seseorang yang bahkan belum pernah kutemui?
*
               Soraya menunduk, tangannya memainkan pengaduk minumannya. Marinka menatap keluar jendela café, melihat kesibukan jalan Sudirman yang padat. Stephani daritadi sibuk makan seporsi Lasagna pesanannya. Tak ada yang berkata-kata, sibuk dengan pikiran masing-masing.
               “ Huaaaah….habis jugaaaa….kenyaaaang,” suara Stephani yang tiba-tiba, mengagetkan yang lain.
               Soraya melempar bantal kursi kecil kearahnya, kena kepala Stephani. “ Ngagetin aja sih “
               Marinka terkikik geli, sementara sekarang Stephani yang kaget karena tiba-tiba ada bantal mampir kekepalanya.
               “ Aya! “ Pekik Stephani. “ Kamu yang ngagetin aku “
Soraya dan Marinka tertawa geli melihat bibir tipis Stephani yang manyun.
Tiba-tiba handphone Soraya berbunyi, dia minta ijin untuk mengangkatnya dan agak menjauh.
“ Paling telepon dari Dedy,” ujar Stephani.
“ Dia masih jalan sama Dedy? “ Tanya Marinka.
Stephani mengangguk. “ Kamu sendiri masih chatting sama Russel, Inka? “ Dia balik bertanya.
“ Masih,” angguk yang ditanya. “ Dan kamu masih sama Zoland, kan? “
“ Enggak,” geleng Stephani berusaha biasa-biasa saja, menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “ Sudah seminggu ini dia nggak menghubungiku. Aku juga nggak mau menelpon duluan “
“ Kenapa? Dia balik sama pacarnya? “ Tebak Marinka dengan nada prihatin.
Stephani hanya mengangguk.
“ So sorry to hear that, Step,” suara Marinka pelan. Walaupun sejak semula hal itu sudah diprediksinya, dia masih ikut sedih juga. Apalagi sekarang diapun mengalami rasa kecewa yang setali tiga uang begini.
Soraya kembali. Langsung duduk dan menatap kedua sahabatnya, bergantian. “ Kenapa pada diam? Ada cerita apa selama aku terima telepon tadi? “
“ Itu dari Dedy, ya? “ Stephani tak menjawab, malah bertanya.
“ Iya,” angguk Soraya tenang. Meraih gelas dan meminum isinya. “ Ngajak ketemuan lusa “
“ Tumben kamu nggak ilfil, padahal menurut ceritamu, dia kasih ajakan aneh yang kamu tolak mentah-mentah,” ujar Stephani. Dia memang yang paling terus terang diantara ketiganya. Sementara Marinka masih diam saja, hanya mendengarkan.
“ Russel masih sering chatting denganmu, Inka? “ Kali ini Soraya yang tak mengacuhkan kata-kata Stephani, malah menatap Marinka yang duduk persis didepannya.
Marinka menatap layar HPnya, membuka situs Facebook dan memperlihatkan pada kedua sahabatnya. Ada poke dari Russel. Stephani langsung nyengir. Soraya tersenyum geli.
“ Chatting sesekali, lebih banyak dia kirim poke buat aku lewat Facebook. Entah apa maksudnya, kalau aku tanya dia hanya menjawab, aku senang poke kamu. Itu saja. Lama-lama aku terbiasa,” ujar Marinka ikut tersenyum geli.
Kemudian Soraya bercerita tentang Dedy. Kedua temannya sudah tahu cerita awalnya, kali ini dia melanjutkan. Semula dia nyaris berpikir untuk tak mau lagi berteman dengan laki-laki itu karena baru pertama bertemu saja sudah bilang mau nginap dan mengajak ke Bandung, tinggal sekamar pula. Tapi dia berpikir untuk member kesempatan buat Dedy dan dirinya untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Mungkin saja Dedy berkata begitu untuk memancing reaksinya. Toh selama ini Soraya tak menemukan ‘kesalahan’ Dedy yang lain. Obrolan mereka nyambung, kalau cerita juga asyik dan yang paling penting, Dedy tak pernah dengan sengaja menyentuhnya, memegang tangannya, apalagi berbuat lebih dari itu.
               Selanjutnya giliran Stephani yang curhat. Dia belum menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dia dan Zoland. Walaupun yakin sahabat-sahabatnya telah dapat membaca situasi yang sebenarnya, tapi belum mengetahui langsung dari dirinya. Stephani menyadari posisinya sejak semula. Dia tahu tak ada yang bisa diharapkannya dari seorang Zoland. Tak pernah ada kata komitmen, sayang atau apalah namanya. Jadi kalau akhirnya laki-laki itu kembali kepada Debbie, ya memang sudah sewajarnya.
               “ Setidaknya aku bahagia pernah mengenalnya dan merasa bahagia walaupun hanya sebentar, “ kata Stephani menutup curhatnya.
               “ Nah sekarang kamu tahu bagaimana perasaan Inka waktu kehilangan Khan dulu itu,” ujar Soraya menanggapi.
               “ Dan perasaan Soraya bersama Dedy,” Marinka menambahkan.
               “ Beda kali, Ka. Dedy kan masih bersamanya,” Stephani berujar. “ Terus Inka juga, kenapa sih selalu saja begini? Maksudku, waktu itu dengan Khan, sekarang dengan Russel “
   “ Lha daripada dengan Daniel Quliardo yang kurang ajar itu,” sanggah Soraya.
               “ Iya, ya “ Stephani menyetujui.
               “ Dengan Khan, aku masih berhubungan baik, chatting dan bertukar e-mail kok,” kata Marinka tenang. “ Dengan Russel, ya seperti yang kalian lihat sendiri lah, full of poke…hahaha “
               “ Kita juluki saja si Russel itu Mr. Poke,” canda Soraya.
               Ketiganya tertawa.
               “ Atau Mr. Poker,” tambah Stephani.
               “ Popopopopopo poker face…..” Serentak ketiganya menyanyikan sepenggal syair lagunya Lady Gaga dan tertawa-tawa.
               “ Kalau soal Dan sih, lupakan saja,” ucap Soraya disela-sela tawanya. “ Dia masih nggak tahu diri lho, masih SMS Inka “
               “ Ya ampun, bener Ka? “ Stephani tak percaya.
               Yang ditanya tertawa kecil dan mengangguk.
               “ Masih ngajak yang macem-macem? “ Tanya Stephani ingin tahu.
               “ Jangan salah, masih banget,” Soraya yang menjawab sambil tertawa-tawa.
               “ Sadis,” komentar Stephani. Entah apa yang menurutnya sadis.
               Marinka masih tertawa-tawa. Dia ingat beberapa hari yang lalu mendapatkan SMS dari Dan yang mengajaknya bertemu disebuah hotel bintang empat dibilangan Jakarta Pusat. Mungkin kali ini laki-laki itu berpikir, kalau diajak ketemuan di hotel berbintang, Marinka mau. Memang aneh laki-laki yang satu itu. Mungkin tidak pernah tahu tata cara pergaulan atau begitu desperate-nya ingin bersama seorang perempuan didalam sebuah kamar hotel.
               “ Kenapa dia nggak ke daerah kota saja ya, kan banyak cewek yang bisa diajak ngamar,” ujar Stephani.
               “ Hush, ngawur kamu,” timpal Marinka tersenyum. “ Mana mau dia begitu “
               “ Lha, habisnya ngajak kamu macam kamu perempuan yang gampang diajak saja,” Stephani tak mau kalah.
               “ Beda lah, step. Kalau dengan cewek-cewek model begitu kan sama saja membeli, ada transaksi. Kalau dengan kita-kita kan harapannya ada sebuah hubungan yang terjalin. Ada perhatian, ada sayang-sayangan,” ucap Soraya panjang lebar.
               “ Hanya caranya yang salah,” kata Marinka bijak. “ Bukan begitu caranya mendekati perempuan. Ambil hatinya dulu, baru melangkah ketahap selanjutnya. Tapi juga jangan bablas lah “
               Stephani tertawa mendengarnya.
               “ Jangan salah, Dan pernah telepon aku, bilang kalau aku itu cantik, seksi dan dia sangat ingin punya istri aku “ Kata Marinka tenang.
               “ Hah? Serius kau dia pernah bilang begitu? “ Soraya kaget. “ Kok nggak pernah cerita? “
               “ Ya ampun, itu laki-laki model apa sih? “ Stephani tergelak geli. “ Nggak pernah bilang cinta, nggak pernah bilang sayang, nggak pernah jadi pacar, kok tahu-tahu mau jadiin istri “
               “ Laki-laki kuper pastinya,” Soraya menimpali, ikut geli.
               “ Sudah ah, jangan ngomongin dia terus, kasihan dia,” Marinka menengahi.
“ Iya, nanti dia kesandung-sandung lho,” canda Soraya.
               “ Nobody’s perfect, kan? “ Marinka kembali berkata dengan tenang. “ Lihat Aya sekarang, masih memberikan kesempatan kepada Dedy dan dia tidak takut kalaupun nanti tak sesuai harapannya “
               “ Aku juga nggak takut untuk jatuh cinta lagi,” Stephani menambahkan.
               Marinka terseyum memandang kedua sahabatnya. Dia juga tidak takut melangkah, walaupun saat ini masa depannya belum pasti, hubungannya dengan laki-laki yang menempati tempat istimewa dihatinya, Khan dan juga Russel, juga belum pasti.
               Tidak ada yang pasti didunia ini. Tidak ada yang sempurna karena dunia juga tidak sempurna. Dan bukan kesempurnaan pada seorang laki-laki yang mereka cari, karena merekapun menyadari kekurangan diri masing-masing. Tapi mengenal seseorang yang berkepribadian baik, cocok dengan pribadi masing-masing dan memiliki karakter yang kuat, itu yang mereka harapkan dan masih  mereka cari.

 ***

Selasa, 12 Juli 2011

BUNGA DAN ZOLAND


                Matahari masih malu-malu, muncul dan menampakkan sinarnya. Stephani sudah harus memacu Honda Jazz metaliknya menembus jalan-jalan Jakarta yang mulai padat. Telat sedikit saja, dia akan terjebak kemacetan dimana semua orang berlomba untuk tidak terlambat sampai tujuan. Dia harus segera tiba pagi-pagi di toko bunga-nya disebuah pertokoan dibilangan Jakarta Utara, sementara dia tinggal didaerah Jakarta Barat. Ada pesanan mendadak semalam, beberapa rangkaian bunga untuk ucapan duka cita, yang harus diantar pagi ini juga. Dua pegawainya yang tinggal di ruko tempat tokonya berada, pasti sudah sibuk sejak semalam juga dan dia harus memeriksa pekerjaan mereka.
                “ Selamat pagi,  mbak,” sapa pegawainya, begitu dia memarkir mobil dan langsung masuk kedalam tokonya.
                “ Pagi,” sahutnya. “ Gimana? Sudah beres semua? “
                Mulailah kesibukannya mengecek sana-sini. Setelah selesai, mulai mengatur bunga-bunga potong lainnya didalam toko, dibantu Sulis, asistennya. Biasanya sang mama ikut serta, tapi sudah seminggu ini mama tinggal dirumah kakak tertuanya di Palembang, karena kakaknya baru melahirkan putra keduanya.
                “ Mbak, mawar-mawar ini mau langsung dirangkai atau bagaimana? “ Tanya Sulis.
                “ Taruh diember dulu, Lis, biar nanti aku yang buat. Kamu bikin Center Piece pesanan Han’s catering saja dulu,” sahut yang Stephani.
                Dia sangat menyukai bau bunga-bunga segar dipagi hari. Sejak dulu dia dan mamanya memang penyuka bunga segar. Maka setelah lulus kuliah di fakultas ekonomi, dia langsung mengikuti saran orangtuanya untuk membuka toko bunga segar. Dia rajin searching di internet, mencari ide untuk rangkaian-rangkaian baru, maupun bereksperimen sendiri. Senang memadukan rangkaian bunga dengan berbagai kerajinan tradisional yang membuat rangkaian bunga buatannya menjadi tidak biasa. Itu sebabnya dia punya banyak pelanggan yang loyal. Stephani sangat mencintai dunianya dan tak pernah berpikir untuk mengerjakan hal lain selain merangkai bunga.
                Kling-kling
                Bel pintu yang terpasang diatas pintu utama, berbunyi. Tanda ada orang yang datang. Stephani dan Sulis sama-sama menoleh kearah pintu. Mereka belum memasang tanda ‘buka’.
                Sesosok laki-laki muda berbadan sedang dan berkulit sawo matang, berdiri didepan pintu dan tersenyum.
                “ Selamat pagi. Maaf, saya tahu tokonya belum buka. Tapi tadi saya intip dan melihat sudah ada
orang, pintu juga tidak terkunci, jadi saya masuk saja,” ujarnya dengan suara yang berusah ramah tapi sedikit gugup.
 “ Nggak apa-apa,” Stephani menyambut. “ Ada yang bisa dibantu? “
Agak ragu-ragu, laki-laki itu mendekat. Dia kemudian menjelaskan apa yang dia butuhkan walaupun dia sendiri bingung bunga jenis apa dan rangkaian yang bagaimana. Yang jelas dia ingin memberikan yang special untuk kekasihnya.
“ Pacarmu ultah, ya? “ Tanya Stephani sambil berusaha menahan senyumnya. Dia merasa geli karena melihat laki-laki itu tampak nggak yakin dengan permintaannya sendiri.
“ Enggak sih, mbak,” sahut yang ditanya.
“ Saya Stephani. Panggil saja Step,” gadis itu mencoba berakrab ria supaya laki-laki itu tidak terlalu canggung.
“ Oh…saya Zoland,” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman.
Suasana sedikit cair. Dengan santai Stephani bertanya tentang warna favorit kekasih lelaki itu, kesukaannya, dan apa alasan dia ingin memberikan bunga pada kekasihnya.
“ Debbie baru menyelesaikan kuliahnya di Melbourne dan akan pulang siang ini,” tutur laki-laki bernama Zoland itu. “ Saya tidak pernah memberikan dia bunga atau sesuatu yang romantis padanya selama ini “ Dia tersenyum agak malu.
Stephani tertawa kecil. Dia segera mengambil beberapa tangkai mawar merah yang tadi baru dibawa Sulis. Merangkainya dengan beberapa dedaunan, memberi aksen kertas semi transparan dan pita emas. Jadilah sebuah rangkaian hand bouquet yang simple tapi manis. Disodorkanya pada lelaki yang sedaritadi mengamatinya dengan tekun.
“ Mawar tanda cinta, “ senyum Stephani. “ Mau dikasih kartu? “
“ Ya…ya…,” sahut Zoland. “ Cantik sekali “
Stephani meminta Sulis mengambilkan beberapa kartu kecil yang masih kosong dan pulpen.
“ Silahkan, ditulisi dulu kartunya. Nanti biar saya taruh diantara rangkaian bunganya,” katanya sambil mengangsurkan beberapa kartu berbeda model.
Zoland kembali bingung. “ Mau ditulisi apa ya? “
“ Lho? “ Stephani tertawa kecil. “ Terserah saja “
“ Waduh saya bingung, Step. Kamu punya contoh tulisan yang bagus? “ Laki-laki itu ikut tertawa,
sambil salah tingkah.
Saat itu Stephani tiba-tiba saja melihat Zoland sebagai sosok yang selama ini dicarinya. Dari segi penampilan, rupa dan sikapnya yang sama sekali tidak terlihat sebagai sosok romantis, malah membuatnya tampak menarik. Sayang dia sudah punya kekasih, batin Stephani. Dia jadi penasaran, seperti apa rupa Debbie, kekasihnya. Cepat ditepisnya pikiran itu dari benaknya.
“ Wah harusnya ini ditulisi yang sesuai isi hatimu sendiri,” ujar Stephani. “ Tapi saya coba. Kalau cocok, mas boleh ambil “. Lalu dia mengambil secarik kertas bekas dan menulis dibaliknya.
Dear Debbie, welcome back home! So happy that we can be together again and continue my day beside you, such a pure blessed. Love and kisses, Zoland.
Laki-laki itu tertawa kecil membaca tulisan Stephani yang disodorkan kepadanya. “ Kamu suka kalau kekasihmu menulis ini buat kamu? “
Kali ini ganti Stephani yang salah tingkah, ikut tertawa kecil. “ Yaaa…begitulah “
“ Oke, aku tulis seperti itu,” ucap Zoland sambil mengambil satu kartu dan mencontoh tulisan Stephani. Tapi dia tidak menulis namanya sebagai ‘Zoland’, melainkan “Zoo”
“ Zoo? “ Stepahani tergelak. “ Kamu tidak seperti monkey or horse or lion, in the zoo “
“ Terus aku terlihat seperti apa? “ Tanya laki-laki itu sambil ikut tertawa. “ Itu panggilan sayang Debbie buatku “
“ Oh oke,” kata Stephani dan menambahkan hanya dalam hati, “ Kamu seperti Teddy bear imut yang ingin kupeluk “. Kemudian geli sendiri dengan pikiran konyolnya.
“ Terima kasih, Step. Berapa harganya? “ Tanya Zoland sambil menerima buket bunga lengkap dengan kartu mungil yang ditempel Stephani diantara mawar dan dedaunan itu.
“ Bayarnya ke Sulis, dia yang akan buat bon-nya. Limaratus ribu saja,” sahut yang ditanya sambil tersenyum manis.
Laki-laki itu menghampiri Sulis yang sedaritadi berdiri didekat situ, membayar dan berjalan menuju pintu. Sebelum membuka pintu, dia berbalik. “ Terima kasih bantuannya, Step “
“ Sama-sama,” sahut gadis itu. Melihat sosok Zoland yang kemudian berlalu.
“ Cakep ya, mbak,” suara Sulis membuat Stephani tersadar, daritadi masih memandangi pintu. “ Sayang sudah punya pacar “
“ Hush kamu ini,” Stephani memaksakan diri untuk tertawa.
Jauh dilubuk hatinya, dia menyetujui ucapan Sulis, Zoland memang menarik. Lumayan sebagai pembuka hari yang manis. Karena ternyata setelah itu ternyata dia sangat sibuk. Begitu toko dibuka, banyak sekali pelanggan yang datang langsung ataupun menghubungi lewat telepon dan memesan berbagai macam rangkaian bunga. Dia sampai harus menyuruh pegawainya yang laki-laki, untuk membeli tambahan bunga potong di pasar Rawabelong, langganannya. Rupanya kedatangan Zoland seperti memberi rejeki bagi tokonya.
Siapa yang menyangka, seminggu setelah itu, Zoland kembali datang ke tokonya. Kali itu sore hari, ketika toko hampir tutup. Stephani nyaris tak mempercayai penglihatannya. Sementara Sulis yang saat itu sedang menata beberapa ember berisi bunga potong didekat pintu masuk dan menghadap kearahnya, terang-terangan membelalakkan mata penuh isyarat.
“ Zoland? “ Sapa Stephani tak bisa menyembunyikan rasa kaget bercampur senangnya. “ Mau beli bunga untuk Debbie lagi? “ Tanyanya.
“ Hai Step, apa kabar? “ pemuda itu balik bertanya sambil memperlihatkan senyumnya yang khas. Kali ini dia memakai kaos putih tanpa kerah yang makin menonjolkan warna kulitnya yang eksotis. Wajahnya yang unik, seperti perpaduan Timur Tengah dan Asia, terlihat segar dengan potongan rambut baru yang lebih pendek dari sebelumnya.
“ Baik. Kamu baik juga, kan? “ Stephani tersenyum. “ Kok datangnya sore begini? Bunga yang bagus-bagus sudah nggak lengkap lagi “
Zoland tertawa. “ Nggak mau beli bunga kali ini “
Lewat sudut matanya, Stephani melihat Sulas tersenyum diujung sana dan diam-diam beringsut pergi kebelakang. Gadis itu merasa kaget bercampur senang mendengar kata-kata Zoland tadi. Hatinya bertanya, kalau tidak beli bunga, kenapa dia masuk ke toko bunganya.
Kalimat berikutnya yang terdengar, membuatnya bertambah kaget. Ternyata Zoland mengajaknya ke Café kecil yang letaknya tak jauh dari ruko tempat toko bunga miliknya berada. Alasannya kemarin dulu dia sempat mampir kesitu, ternyata suasana dan makanan yang disajikan cukup enak. Yang mengherankan Stephani, kali ini Zoland terlihat lebih mantap cara bicaranya, tidak serba salah tingkah seperti waktu pertama datang waktu itu.
Setelah menimbang sepersekian detik, Stephani berkata,” Oke, saya beres-beres toko dulu. Kamu bisa kesana dulu, nggak? Nanti saya menyusul “
“ Nanti kamu menyusul, ya? Janji? “ Kebiasaan seorang Zoland, ditanya malah balik bertanya.
“ Janji,” Stephani menjawab setengah geli. “ Paling kamu nunggu sekitar lima sampai sepuluh menitan “
“ Gak masalah, “Laki-laki itu tersenyum dan lantas berlalu.
Sulis yang rupanya masih menguping dari belakang, cepat-cepat menghampiri atasannya itu.
“ Saya sudah mengira, si ganteng itu suka sama mbak Step,” ujarnya dengan logat Jawa-nya. “  Waktu itu saya lihat dia itu sangat memperhatikan mbak, waktu mbak asyik merangkai bunga pesanannya. Matanya itu lho mbak, takjub begitu “
“ Ah kamu ini,” Stephani tertawa. Tangannya sibuk membereskan mesin kasir dan menghitung pendapatan hari ini, memasukkannya dalam amplop coklat dan memberikannya pada pegawainya itu untuk seperti biasa dibawa ke mesin ATM yang bisa setor tunai, tidak jauh dari situ. “ Ini ada enam juta tiga ratus ribu “
Sulis menerima sambil tersenyum lebar.
Setelah itu dia memanggil ketiga staf yang laki-laki yang berada diruang belakang, memberi instruksi tentang apa yang harus mereka kerjakan malam ini, mengambil tas tangannya dan berlalu dari situ. Nanti Sulis yang akan membereskan toko sebelum pulang, bersama staff lain yang tinggal di lantai dua ruko tersebut, sebelum pulang.
Sambil berjalan menuju Café yang hanya berjarak sekitar limapuluh meter dari toko bunganya, Stephani mulai berpikir untuk menceritakan tentang Zoland pada kedua sahabatnya, Soraya dan Marinka. Dia tahu apa yang akan terjadi. Soraya akan langsung menggodanya habis-habisan, karena sahabatnya yang satu itu memang begitu, periang namun juga terkadang temperamental. Kalau Marinka lain lagi, nasehatnya pasti banyak. “ Hati-hati dengan hati, Step. Apalagi cowok itu masih punya pacar “. Pasti begitu nasehatnya. Walau demikian Stephani tahu, keduanya menyayanginya dengan tulus. Sebagai yang termuda diantara ketiganya dan bungsu dalam keluarganya, dia mendapat limpahan kasih sayang yang lebih dari cukup. Hanya saja bila bersama sahabat-sahabatnya dia merasa bebas bercerita tentang apa saja tanpa harus dihakimi atau dinasehati berlebihan. Itu sebabnya dia merasa nyaman.
“ Selamat sore, mbak,” sapa seorang pegawai café yang membukakan pintu. Dia tentu saja sudah mengenal Stephani sebagai si pemilik toko bunga satu-satunya dilingkungan situ.
Stephani hanya membalas dengan senyuman, masuk dan mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan. Menemukan Zoland yang melambaikan tangan padanya, di meja paling sudut. Gadis itu menghampirinya.
“ Nggak menunggu lama, kan? “ Tanya gadis itu sambil mengambil tempat duduk tepat berhadapan dengan laki-laki itu.
“ Enggak kok,” sahut Zoland. “ Pesan minum, ya? “ Tawarnya.
“ Nggak apa-apa, mereka sudah tahu pesanan saya kecuali kalau saya yang minta ganti dari pertama,” ujar Stephani.
Keduanya tertawa bersama.
 “ So, apa kabar Debbie,” Tanya Stephani sambil menatap laki-laki itu.
Yang ditanya tak langsung menjawab. Dia meminum capucinonya, sebelum bercerita. Ternyata Debbie tak jadi datang waktu itu. Kekasihnya itu hanya memberitahu lewat SMS dan ketika Zoland menghubunginya, hp-nya malah mati. Tak ada penjelasan lebih lanjut kecuali menunda kedatangannya pulang ke Jakarta. Hari-hari berikutnya pun ketika Zoland berhasil menghubunginya, jawabannya tidak jelas. Hanya mengatakan bahwa dia pasti pulang ke Jakarta, entah kapan waktunya.
Waktu menceritakan itu, wajah laki-laki itu kentara benar berusaha biasa-biasa saja dan menekan perasaannya yang sebenarnya. Sedangkan Stephani yang mendengarkan, tak tahu harus bersikap bagaimana.
“ Aku merasa, Debbie mempunyai someone special di Melbourne, walaupun dia tak mengakuinya ketika kutanya. Hati kecilku saja yang mengatakan hal itu,” ungkap Zoland pelan.
Stephani masih terdiam, hanya menatap laki-laki dihadapannya tanpa berkata apa-apa.
“ Maaf, aku tidak sedang mencari pelarian dengan mengajakmu kesini,” ucap laki-laki itu hati-hati. “ Aku cuma ingin punya teman ngobrol saja dan kupikir, kamu cukup menyenangkan sebagai teman ngobrol “
“ Nggak apa-apa, Zoland,” ujar Stephani. “ Saya mengerti kadang-kadang kita butuh untuk berbagi cerita. Saya juga sering begitu dan kebetulan saya punya dua orang teman curhat yang selalu siap menjadi pendengar yang baik “
Laki-laki itu terseyum kecil. Dia kemudian bercerita bagaimana dia hampir membuang bunga tangan yang dibelinya di toko Stephani. Kalau tidak ingat bagaimana Stephani dengan sepenuh hati merangkainya dengan cantik waktu itu. Maka dia hanya membuang pita dan kertas hiasnya saja. Bunga-bunga itu lalu dia taruh seadanya sebuah mug besar yang diberi air dan dia taruh diatas meja dikamar kostnya. Sedangkan kartunya masih dia simpan karena dia juga menghargai tulisan yang sudah dikarang Stephani.
“ Bunga-bunganya masih ada, walaupun sudah layu dan rontok, belum sempat kubuang,” kata laki-laki itu, membuat Stephani tersenyum mendengarnya.
Selanjutnya pembicaraan beralih ke hal-hal lain. Keduanya seperti sepakat tidak melanjutkan obrolan tentang Debbie dan masing-masing bercerita tentang kesibukan mereka. Ternyata Zoland bekerja disebuah bank swasta dibagian Customer Banking. Usianya sama dengan Stephani, 27 tahun. Tinggal dirumah kost dekat kantornya, karena rumah keluarganya jauh didaerah Depok yang selalu macet. Zoland anak tunggal dan seperti dugaan Stephani sebelumnya, dia keturunan Timur Tengah. Ayahnya berdarah Turki-Indonesia, sementara ibunya asli dari Malang. Stephanipun bercerita tentang keluarga besarnya dimana dia sebagai si bungsu dari empat bersaudara dengan satu kakak perempuan dan dua kakak laki-laki.
Mereka akhirnya memesan makan malam disitu dan melanjutkan pembicaraan sampai café tutup. Keduanya pulang dengan mobil masing-masing, sebelum bertukar nomer telepon dan pin BB. Zoland berjanji akan sering datang mengunjungi toko Stephani. Bahkan sempat bercanda pada staf café ketika mereka menjadi pengunjung terakhir yang pergi dari situ, dengan mengatakan bahwa mereka akan jadi pelanggan tetap.
                Stephani menyukai pertemuan itu dan tentu saja tidak keberatan jika besok-besok mengulangnya. Sampai dikamarnya, dia segera menghubungi sahabat-sahabatnya dan seru bercerita ketika mereka conference call bersama. Seperti dugaannya, Soraya menggodanya terus dan Marinka memberikan petatah-petitih sambil juga menggodanya. Gadis itu tahu, Zoland tak menjanjikan apa-apa selain sebuah pertemanan biasa. Tapi itu cukup baginya saat ini. Dia sedang jomblo seperti Marinka, sedangkan Soraya sedang berpacaran dengan Henry. Seperti kesepakatan bersama, kalau merasa nyaman bersama seseorang, maka hal itu akan dilihat sebagai sebuah kesempatan dan tidak menutup kemungkinan untuk tercapainya cita-cita ketiga sahabat itu menemukan cinta sejati dan pasangan jiwa masing-masing.
                Hari-hari berikutnya dilalui Stephani dengan rasa bahagia. Zoland memenuhi janjinya, kerap datang dan mereka menghabiskan waktu dengan ngobrol dan makan malam di café yang sama. Hanya sekali Stephani mengajak laki-laki itu bertemu disebuah Mall terdekat, karena dia ingin membeli pesanan mamanya di supermarket besar disitu dan Zoland mengiyakan dengan syarat Stephani mau dijemput dan nantinya diantar pulang. Walaupun sedikit kaget, gadis itu menyetujuinya. Dia menelpon supir papanya untuk datang dan membawa mobilnya pulang, sementara dia akan ikut mobil Zoland.
                Waktu laki-laki itu mengantar Stephani pulang, dia sempat berkenalan sebentar dengan papanya yang ternyata baru pulang kantor dan belum tidur, sementara sang mama masih berada di Palembang. Gadis itu bisa melihat kalau Zoland sedikit gugup bertemu dengan papanya yang wajahnya selalu dipasang kencang bila ada laki-laki yang mengantar putri bungsunya pulang. Untunglah papa tak berkomentar apa-apa dan Zoland juga hanya sebentar mampir, kemudian pulang.
                Lagi-lagi tak ada komitmen apa-apa. Zoland tak pernah sedikitpun menyinggung tentang perasaannya, maupun menyebutkan apa bentuk hubungan mereka. Stephani berusaha untuk biasa saja dan tidak kecewa, dia tahu Zoland tak pernah benar-benar melupakan kekasihnya, Debbie. Lagipula mereka hanya sedang dalam masa cooling down dan belum ada kata berpisah.
                Sekali Zoland mengatakan bahwa dia sangat menyukai pertemanan mereka. Sikap Stephani yang dianggapnya dewasa dan mandiri untuk ukuran seorang putri bungsu, membuatnya nyaman. Dia seperti mempunyai teman yang tak membuatnya sungkan untuk mendiskusikan berbagai hal. Selama ini dia belum pernah menemui seseorang yang seperti itu, apalagi seorang perempuan.
                Dilain pihak, Stephanipun mengungkapkan hal yang sama. Dia merasa nyaman bercerita pada Zoland, setelah selama ini hanya berbagi dengan kedua sahabat perempuannya. Dia menyukai Zoland yang sopan dan memperhatikannya dalam batas-batas tertentu, tanpa masuk terlalu jauh kedalam kehidupan pribadinya. Dia masih sering kongkow-kongkow dengan kedua sahabatnya dan belum sekalipun membawa Zoland bertemu dengan mereka. Gadis itu cukup tahu diri bahwa dia bukanlah kekasih Zoland, jadi tidak mau melibatkannya dalam hubungan akrabnya dengan sahabat-sahabatnya. Selain sesekali bertanya tentang laki-laki itu, Soraya dan Marinka tak pernah mengorek lebih jauh. Itulah yang dia sukai dengan persahabat mereka. Tak saling turut campur masalah pribadi, tapi selalu ada pada saat dibutuhkan.
                Malam itu sudah hampir jam sebelas. Stephani masih termangu didepan laptopnya, tanpa melakukan apa-apa, ataupun online dengan siapapun. Dua jam yang lalu dia baru pulang dari toko dan makan malam bersama Zoland di café langganan. Sejak bertemu laki-laki itu di café, dia sudah merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Dia melihat senyum laki-laki itu tak selepas biasanya, walaupun dia berusaha untuk biasa-biasa saja. Beberapa kali laki-laki itu seperti kehilangan kata-kata dan terdiam sesaat, seperti termenung sendiri. Stephani sendiri berusaha mengerti dan tak ingin mengorek keterangan mengapa laki-laki itu bersikap seperti itu. Dia terus bercerita dengan ringan tentang keadaan tokonya yang tak terlalu ramai hari itu, tentang Soraya dan cincin barunya, tentang Marinka yang sulit bertemu karena tugas keluar kota terus, bahkan tentang Beva, anjing Goden Retrier-nya yang sedang hamil tua.
                “ Step,” panggil Zoland seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk membicarakan sesuatu yang serius.
                Ini saatnya, batin Stephani. Dia berusaha tenang dan bersiap mendengarkan apa saja yang akan dikatakan laki-laki yang selama ini selalu membuatnya tersenyum bila diam-diam mengingatnya. Dia bahkan siap mendengarkan hal yang buruk, seperti nalurinya yang kini memberitahukannya dalam hati.
                “ Debbie pulang besok,” ucap laki-laki itu, pelan.
                “ Oh,” hanya itu yang terucap dibibir Stephani. Hati kecilnya berkata benar. Cepat dia menguasai diri sambil mengingat semua ucapan Marinka: bersiaplah menghadapi segala kemungkinan karena Zoland bukan milikmu.
                “ Tadi siang dia menghubungiku,” kata Zoland lagi. Entah kenapa wajahnya seperti serba salah.
                “ Bagus dong,” cetus Stephani berusaha biasa-biasa saja. “ Kamu sudah lama kangen sama dia. Kalian bisa bersama lagi “
                Bawalah pergi cintaku, ajak kemanapun kau mau
                Jadikan temanmu, temanmu paling kau cinta
                Disiniku pun begitu, trus cintaimu dihidupku
Didalam hatiku….
                Sampai waktu yang pertemukan….kita nanti
                Suara berat Afghan mengalun dari CD yang diputar di café itu. Kenapa juga lagu ini yang diputar? Batin Stephani menyimpan segenap perasaannya.
                “ Step,” tiba-tiba Zoland meraih tangannya. Satu hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.
                “ Jangan bilang apa-apa, Zo….please,” pinta Stephani sambil terus berusaha kuat menahan perasaannya.
                “ Oke,” laki-laki itu melepaskan pegangan tangannya kembali. Cukup mengerti keadaan yang sedang berlangsung ditengah mereka.
                Keduanya terdiam, cukup lama. Sebelum akhirnya Zoland menawarkan untuk mereka pulang saja. Gadis itu segera menyetujui. Setelah laki-laki itu membayar pesanan mereka, keduanya berjalan menuju mobil Stephani tanpa saling bicara.
                “ Terima kasih untuk segalanya,” ucap Zoland, ketika Stephani sudah masuk mobilnya, dan membuka kaca jendela, untuk berpamitan seperti biasa.
                “ Sama-sama, Zo. Terima kasih juga,” kata gadis itu sambil memberikan senyum termanisnya. Menutup kaca jendela, menyalakan mobilnya dan pergi berlalu.
                Sepanjang perjalanan, gadis itu merasakan ada sebuah rasa yang pelan-pelan teangkat dari dalam hatinya. Dia menyalakan CD player dan memilih lagu dari album kompilasi.
                Sumpah, tak ada lagi kesempatan ku untuk bisa bersamamu
                Kini, kutahu bagaimana caraku untuk dapat trus denganmu
                Bawalah pergi cintaku, ajak kemanapun kau mau
                Jadikan temanmu, temanmu paling kau cinta
Disiniku pun begitu, trus cintaimu dihidupku
Didalam hatiku….Sampai waktu yang pertemukan….kita nanti….
Seketika tangis yang disimpannya sejak tadi, pecah. Dengan hati-hati, dia menurunkan laju mobilnya dan berhenti dipinggir jalan yang dirasanya aman. Menelungkupkan wajahnya pada stir mobil beberapa saat. Betapapun dia berusaha menjaga hatinya, dia tak dapat memungkiri bahwa dia telah mempunyai perasaan khusus pada seorang Zoland. Tiga bulan mengenalnya, cukup membuatnya tak bisa mengingkari perasaan itu bahkan terus memupuknya. Bukan salahnya, bukan pula salah laki-laki itu.
Rasa itu tak bersalah. Keadaan yang tak memungkinkan.
Ketika tangisnya sudah berhenti, dia mengambil tissue, membersihkan semua airmatanya dan memacu mobilnya kembali menuju rumahnya.
Dan kini dia termenung didepan laptopnya, berniat mencurahkan seluruh isi hatinya, tapi belum tahu harus memulai darimana. Dia belum mau bercerita pada Soraya dan Marinka. Mungkin besok-besok pada saat mereka ketemuan, tapi bukan lewat telepon.
Biasanya dia akan   langsung curhat bila merasakan sesuatu, terutama pada Marinka yang selalu memperlakukannya sebagai adik tersayang. Tapi tidak kali ini. Dia belum sanggup. Akhirnya dia mulai menuliskan kata demi kata sambil sekali lagi mendengarkan suara Afghan dari CD player laptopnya. Lalu berniat menyimpan semua kenangan tentang seorang Zoland.
Bawalah pergi cintaku, ajak kemanapun kau mau…….
***
END OF PART 4

Senin, 11 Juli 2011

THE NAME IS KHAN


              

THE NAME IS KHAN
 mengenalnya dalam sebuah acara gathering untuk member sebuah situs pertemanan internasional via internet, yang menggabungkan orang-orang dari seluruh penjuru dunia yang mempunyai satu hobi yang sama: traveling. Dia menonjol karena badannya yang tinggi menjulang dan wajahnya yang khas India.
                “ Hi, I am Khan. Nice to meet you,” dia menjabat tangan Marinka dengan hangat, memperkenalkan dirinya. 
                “ I’m Marinka. Nice to meet you too,” gadis itu menyambut uluran tangannya. Merekapun bertukar kartu nama.
                Selanjutnya Marinka lebih banyak ngobrol dengan Nina dan Merry, anggota yang datang dari Bogor. Lebih tertarik memperhatikan beberapa wajah Kaukasia yang juga baru berkenalan dengannya tadi. Ada Tod Miller dari US, Michael dari UK dan Peter dari Belgia dan lainnya. Karena dia penyuka pria berkulit terang, tak harus bule, Asia juga oke yang penting putih bersih. Terlihat lebih menarik saja buatnya. Tapi situs ini bukanlah sebuah situs perjodohan, walaupun ada juga yang akhirnya menemukan jodohnya disitu. Isi acara lebih kepada saling mengakrabkan diri dan bercerita tentang budaya dan segala yang istimewa tentang Negara masing-masing.
                Para anggota saling bertukar kartu nama dan sesekali mendengarkan Ambassador untuk wilayah Indonesia, pak Reinhard Budiman, berbicaradalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Satu dua hal saja saja yang masuk ke otak Marinka, selebihnya ocehan Nina yang cerewet disebelahku, lebih mendominasi. Setelah sambutan, acara bebas. Dia memilih duduk di bar stoll, menikmati fruit punch dan kripik jagung, masih bersama Nina dan Merry. Kali ini ditambah Todd dan Peter. Kedua teman baru dari Bogor itu terlihat sangat antusias mempraktekkan bahasa Inggris mereka. Hanya sesekali Marinka ikut nimbrung. Mereka masih muda-muda, pastinya dibawah 30. Bukannya merasa tak cocok dengan obrolan mereka, dia hanya senang melihat orang-orang muda yang bersemangat seperti itu. Ah, dia kan hanya tua dari segi usia. Jiwanya sik masih seusia mereka, piker Marinka menghibur diri.
                Sebelum jam Sembilan malam, Marinka sudah pamit. Biarpun diprotes yang lainnya, tetap memilih untuk pulang karena harus naik kendaraan umum bukan taxi dan rumahnya nun jauh dari pusat kota ini. Didalam bus dia merasa senang dan bertekad akan ikut lagi acara serupa. Berjumpa orang-orang baru selalu memberi warna berbeda dalam hidupnya. Apalagi sebagai seorang marketing, dia memang harus berinteraksi dengan orang banyak. Kolega banyak, teman juga banyak, semuanya dari segala lapisan usia dan latar belakang profesi. Sangat membantu dalam segala hal.
                Sampai rumah sudah hampir jam sebelas malam. Dia memutuskan untuk cuci kaki cuci tangan dan langsung berangkat tidur. Suara “bib” tanda sebuah SMS masuk, membuatnya harus membuka HPnya. Dari sebuah nomer lokal tanpa nama. Ketika dibuka, ternyata dalam bahasa Inggris.
                Hi, this is Khan. We just met earlier. To bad there was no chance to chat with you. How about we meet tomorrow afternoon? I’ll be in Jakarta for3 weeks and I’d like to know you more #Agastya Khan#
 (Hai, ini Khan. Kita baru bertemu tadi. Sayangnya tidak sempat ngobrol. Bagaimana kalau kita bertemu besok siang? Saya berada di Jakarta selama tiga minggu dan saya ingin mengenal kamu lebih jauh #Agastya Khan#)
                Marinka bengong sejenak. Khan? Si jangkung itu? Kenapa dia? Cepat dihapunyas pertanyaan tak perlu itu dari pikirannya. Tak boleh rasis begini. Siapapun dia, harus dihargai. Sayangnya dia tak berminat mengenalnya lebih jauh. Dia suka aktor India yang ganteng, Shahrukh Khan, tapi berdasarkan beberapa orang dari negri Taj Mahal yang sempat dikenalnya, mereka itu banyak bicara dan cenderung sok tahu. Cara bicara dalam bahasa Inggris dengan logat India yang kental, cepat dan kadang tak bisa ditangkap dengan benar.Belum lagi dia pernah ‘dikejar’ salah satu client-nya, seorang bapak keturunan India yang tak mau menerima penolakan halus untuk makan malam bersamanya, hingga akhirnya harus dengan lugas mengatakan cerita bohong bahwa dia sudah menikah dan tak tertarik padanya, hahaha.
                Maka diputuskannya untuk langsung menolak tawaran Khan. Dia balas SMS Khan dengan mengatakan bahwa besok dia akan keluar kota untuk beberapa minggu dan  sangat sibuk dengan pekerjaan. SMS balasan langsung datang.
                Too bad, Marinka. Maybe some other time. Have a good night (Sayang sekali, Marinka. Mungkin lain kali. Selamat malam)
                Dia menghapus semua SMS itu, balik badan dan tidur. Tidak mau memikirkan tentang Khan atau yang lainnya.
                Tidak juga hari-hari selanjutnya. Marinka tenggelam dalam kesibukan dan tak disangka, benar-benar harus bolak-balik keluar kota bahkan lebih dari sebulan. Untuk bertemu sahabat-sahabatnya pun,  tak punya waktu. Walaupun sedikit protes, terutama Stephani yang sangat manja padanya, mereka dapat memakluminya. Toh dia tak pernah lupa menyapa mereka lewat WA jika sedang istirahat makan siang atau menjelang tidur malam.
                Sampai suatu hari, Jum’at malam, dia baru sampai dari perjalanan dinas ke Semarang. Setelah mandi dan melongok meja makan, melihat kalau-kalau masih ada masakan buatan Claris yang sekarang sudah tidur. Ternyata ada sepotong paha ayam goreng tepung, sambal bajak dan semangkuk kecil capcay. Ada catatan kecil tulisan Claris pada post it yang tertempel dekat situ.
                Mbak, kalau masih mau makan malam, ini masih ada. Maaf Claris nggak nunggu mbak datang, soalnya capek banget tadi dikantor ada training sampai jam 7

                Dia tersenyum. Adik satu-satunya itu memang pengertian. Usianya yang 10 tahun terpaut dengannya, tak membuatnya menjadi anak yang manja.  Dia berharap semoga Claris cepat mendapat jodoh dan tidak menjadi miss kadaluarsa sepertinya.
                Karena tidak terlalu lapar karena tadi makan sebelum naik pesawat, dia memutuskan untuk langsung masuk kamar, istirahat. Sambil tiduran, dia meraih HPnya, berniat mengabari sahabat-sahabatku kalau sudah sampai di Jakarta lagi dan siapa tahu besok bisa ketemuan. Tanda ada SMS masuk membuatnya membukanya terlebih dahulu. Tanpa nama, hanya sebuah nomer lokal.
                Hi, this is Khan. How are you? I hope you still remember me. I’m in Jakarta for few days and still hope that we can meet. Please reply. #Agastya Khan# (Hai, ini Khan. Apa kabar? Kuharap kamu masih mengingatku. Saya ada di Jakarta selama beberapa hari dan masih berharap kita dapat bertemu. Ditunggu balasannya #Agastya Khan#)
                Marinka langsung meloncat duduk dan terbengong-bengong. Khan? Lagi? Astaga, betapa keukeuh-nya pria-pria dari negri sana itu, batinnya. Kan tidak mungkin menjawabnya dengan bilang bahwa sama sekali tidak berminat bertemu dengannya? Hmm….nanti dulu, apa benar dia tak berminat sama sekali bertemu dengannya? Dicarinya dalam memori, sosok seorang Khan yang tinggi dengan bentuk badan sedang, kulitnya yang tidak putih, senyum lebarnya yang kekanakan dengan gigi yang rapi dan putih bersih, tatap matanya yang ramah dan sedikit malu-malu. Hey, laki-laki yang satu itu tidaklah jelek, walau tak setampan Shahrukh Khan tentunya. Setidaknya nama belakangnya sama-sama Khan, mungkin masih saudara jauh, batinnya sambil tertawa sendiri. Dia mulai berpikir untuk menyetujui ajakannya. Selama ini dia tak pernah bercerita pada Stephani dan Soraya, karena dia anggap tidak ada yang perlu diceritakan. Tapi mungkin dengan mengenalnya lebih jauh, memberinya sebuah bahan cerita baru. Siapa tahu, kan? Maka dia putuskan untuk membalas SMSnya.
                Hi Khan, yeah I still remember you. Wanna meet? Tomorrow lunch time? Where? Let me know (Hai Khan, ya saya masih ingat kamu. Mau ketemu? Besok jam makan siang? Dimana? Kasih tahu ya)
                Menunggu beberapa menit dan balasannya cepat diterima.
                Tomorrow will do. How about Potato Head at Pacific Place? I’m vegetarian, so kinda difficult to find food for me. Is it okay for you? (Besok boleh. Di Potato Head Pacific Place? Saya vegetarian, jadi agak susah mencari makanan untuk saya. Bagaimana?)
                Marinka tersenyum membacanya. Vegetarian, ya? Berarti nggak bakalan bisa diajak makan mie ayam nih, pikirnya konyol lalu membalasnya SMS nya
                Okay. I’ll be there around 12 noon. Gotta sleep now, so tired. See you tomorrow (Oke. Saya akan datang sekitar jam 12 siang. Sekarang mau tidur, capek banget. Sampai ketemu besok)
                Balasan Khan: Have a nice sleep, Marinka. See you tomorrow (Selamat tidur, Marinka. Sampai ketemu besok)
                Hari itu ditutup dengan manis. Marinka tidur dengan senyum diwajahnya, membayangkan apa kata sahabat-sahabatnya kalau tahu dia punya date dengan seorang Khan. Mereka tahu dia sangat pemilih dan tak gampang menerima ajakan seseorang apalagi yang belum dikenal baik. Bukan karena sok atau apa, tapi justru karena pengalaman yang mengajar untuk bersikap seperti itu. Ketika umur masih 20an, bertemu dan jalan dengan siapa saja, tidak masalah. Hanya berteman dan bergaul sebanyak mungkin. Tapi begitu 30 sekian, mulailah bertemu dengan banyak laki-laki yang ‘aneh-aneh’. Seolah dalam pikiran mereka, dia sangat butuh dan tak punya pilihan lagi. Pikiran picik. Survey membuktikan, bahwa perempuan jauh lebih kuat sendiri dan tanpa pendamping. Bahkan banyak ibu single parent yang mampu mengantar anak-anak mereka kejenjang kesuksesan. Dan dia tidak terlalu memikirkan dengan siapa akan menikah nanti, juga tidak pernah takut bila ternyata harus terus sendiri. Walaupun ya kadang-kadang kalau sedang mellow, kepengen juga ada seseorang disamping yang memegang tangan dan memeluknya dengan hangat. Namun dia tetap mencintai hidup yang sudah digariskan untuknya dan terus meyakini bahwa ada seseorang sebagai soulmate, masih menunggu diluar sana.
                 Sabtu pagi adalah jadwal bebenah rumah bersama Claris. Apalagi dengan sekoper penuh cucian kotor, makin sibuklah mereka berdua. Mulai jam 6 pagi sampai jam 10 siang baru selesai dan bisa bernafas sedikit lega. Cucian beres, bersih-bersih rumah sudah, memasak sudah, tinggal mandi yang belum. Sambil menunggu Claris mandi, Marinka membuat secangkir teh lalu nonton teve. Ada infotaimen tentang Briptu Norman yang kini membuka kantin berjualan bubur. Jadi ingat Stephani yang ikut-ikutan nge-fans. Juga ingat Khan, berhubung lagu yang jadi booming itu kan lagu dari negaranya. Lumayan bisa tanya-tanya nanti, apa sih artinya Chaiyya chaiyya itu.
                “ Mbak, aku sudah,” Claris keluar dari kamar mandi.
                “ Ya sudah, aku mandi terus langsung berangkat ya,” kata Marinka sambil mengambil handuk.
                 “ Mau kemana, mbak? Nggak makan siang dirumah jadinya? “ Tanya Claris.
                “ Ketemuan di Pacific Place,” sahut yang ditanya.
                “ Sama mbak Soraya dan mbak Stephani? “ Tanya Claris lagi.
                “ Bukan,” jawab Marinka. “ Sama Shahrukh Khan “
                “ Heh? Beneran, mbak? “ Claris tak percaya. “ Orangnya mirip Shahrukh Khan, gitu? Ganteng dong “
                Marinka menghentikan langkahnya, menoleh pada adiknya sambil tersenyum. “ Namanya Khan. Mirip Shahrukh Khan kalau dilihat dari atas Monas “
                Claris tergelak.
                Marinka segera beranjak kekamar mandi. Limabelas menit kemudian dia sudah mematut didepan cermin. Memilih gaya sekasual mungkin, hanya t’shirt dan jeans. Memakai make up seadanya dan langsung bersiap untuk berangkat.
                Claris yang sedang duduk di sofa sambil menonton teve, menoleh melihat kakaknya keluar kamar.
                “ Serius mbak, mau ketemu Shahrukh Khan dengan dandanan seperti itu? “ Godanya. “ Tumben banget mbak “
                Kakaknya tertawa mendengar pertanyaan sekaligus komentar itu.
                “ Nggak terlalu penting, Ris,” sahutnya. “ Cuma bertemu teman baru “
                “ Good luck, mbak, semoga dia se charming si aktor India itu,” adiknya nyengir.
                “ Thank you,” sahut sang kakak sambil berlalu.
                Dalam perjalanan didalam bus, Marinka menerima SMS Khan dua kali. Satu menanyakan apakah sudah berangkat yang dibalas dengan bilang kalau sedang dalam perjalanan. Satu lagi meminta untuk  memberitahukannya bila sudah dekat, karena dia tinggal di apartemen dekat situ dan hanya ditempuh dengan berjalan kaki saja. Marinka pun memberitahukannya ketika sudah turun di kawasan SCBD, kalau sudah dekat dan langsung menuju resto yang dimaksud.
                Ternyata Marinka sampai duluan, maka dipilihnya tempat disudut ruangan dan memesan segelas jus jeruk. Belum juga pesanan datang, laki-laki itu tiba. Kali ini Khan memakai T’shirt bergaris dan jeans. Memasang senyumnya yang memperlihatkan kedua lesung pipitnya dan menjabat tangan Marinka dengan hangat. Tiba-tiba gadis itu melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Khan bukan lagi sosok yang membuatnya enggan untuk mengenal lebih jauh, tapi justru menyenangkan untuk dijadikan teman bicara. Ceritanya banyak dan tak membosannya. Kerap mendengarkan cerita Marinka dan menanggapi dengan antusias. Belum lagi bila dia terlalu lama menatapnya, Khan jadi tersipu-sipu malu.
                Sampai Marinka tak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya, “ Are you sure, you’re not seventeen, Khan? (Kamu yakin umurmu bukan tujuhbelas?)
                “ Why? “ Tanya Khan sambil mengernyit.
                Marinka tertawa. “ Because you are so shy for 38 years old man “ (Karena kamu begitu pemalu untuk ukuran laki-laki berumur 38 tahun)
                Lagi-lagi laki-laki itu jadi salah tingkah dan menampilkan senyum malu-malunya. Ah Khan, Marinka tidak menyesal melewati moment ini bersamanya. Pun tidak disesali kenapa dulu pernah menolak untuk bertemu dengannya karena dia tahu, semua ada waktunya. Saat ini adalah saat tepat buatnya untuk mengenal seorang Khan. Karena sebulan yang lalu dia masih marah pada Daniel yang semula dianggap baik tapi ternyata tak lebih dari seorang pecundang. Jadi Marinka masih menutup hatinya untuk mengenal atau dekat siapapun juga waktu itu.
                Hanya Khan yang menyesali kenapa Marinka baru mau menemuinya hari itu, sedangkan besok dia harus sudah kembali ke Bombay dan tak tahu apakah akan kembali lagi ke Jakarta. Waktu pertama kali bertemu dulu, dia sedang dalam rangka tugas membuka kantor cabang Jakarta selama nyaris sebulan dan menurutnya, dia akan dapat mengenal Marinka lebih lama dan lebih akrab. Tapi gadis itu  menanggapinya dengan tertawa. Terbiasa menghadapi segala hal, dia tak merasa kecewa sedikitpun. Dengan bahasa Inggris yang cukup lancar tapi tidak terlalu canggih, dia mencoba menjelaskan pada teman barunya itu.
               “ Khan, semua terjadi ada alasannya. Aku yakin hari ini kita bertemu karena sebuah alasan dan itu yang terbaik. Aku senang bisa mengenalmu walaupun mungkin hanya bisa bertemu hari ini. Karena aku terbiasa untuk tidak mengharapkan apa saja yang tidak kupunya dan berusaha hidup dengan kenyataan yang ada didepan mataku “
                “ You are so sweet, Marinka,” Khan menatap Marinka dalam. Kalimat pertanyaan berikutnya membuat Marinka terhenyak. “ Can I hold your hand? “
                “ Why not? “ Sahutnya. Dia harus meminta ijin untuk memegang tangan? Ah Khan, justru kamu yang so sweet, batinnya.
                Lalu Khan mengambil tangan kanan Marinka dan menggenggamnya dengan kedua tangannya lalu berkata dengan suara tenang bahwa sejak melihatnya diacara gathering waktu itu, dia langsung suka dan bertekad mengenal lebih jauh. Hanya saja saat itu Marinka tampak sibuk dengan teman-teman dan bule-bule itu. Jadi dia tak berani mendekat. Setelah mendapat kartu nama dan mencoba mengajak bertemu tapi ditolak, dia merasa tak ada harapan.Dia pikir mungkin Marinka sudah punya pacar dan tak berminat untuk mengenalnya. Tapi semalam, entah darimana, dia mendapatkan lagi keberaniannya untuk mengirim SMS, berharap Marinka berubah pikiran dan setuju bertemu dengannya.
                Khan melakukan hal yang benar, mengikuti kata hatinya dan Marinka pun mengikuti kata hatinya. Berdua melewati makan siang itu dengan perasaan senang. Ketika sore menjelang, keduanya pindah kesebuah café di mall yang sama, lalu ditutup dengan makan malam disebuah resto yang menyajikan masakan Indonesia. Khan ternyata sangat menyukai gado-gado, dengan alasan, disamping enak, itulah makanan Indonesia yang bisa dia makan mengingat dia hanya bisa makan sayur-sayuran. 
                Harus diakui, Marinka betah berlama-lama dengannya. Khan pandai membuatnya merasakan pujian yang tidak basi, seperti yang selalu dirasakan ketika seorang laki-laki memuji. Dia bilang bahasa Inggris Marinka bagus dan lebih bagus dari orang-orang yang selama ini ditemuinya. Dia bilang Marinka punya struktur wajah yang bagus, karena tulang pipi yang tinggi. Walaupun Marinka bilang kalau hidungnya pesek, dia bilang dia tak pernah melihat hal itu. Dia juga yang ‘memaksa’ Marinka melihat kearah kaca sambil memperlihatkan senyumnya, karena katanya Marinka ternyata punya sedikit lesung pipit. Dia juga memuji tawa lepas Marinka dan pendapatnya tentang kenyataan bahwa dia tak kecewa sedikitpun bersamanya hanya satu hari ini saja.
                Sekali ini Marinka tak takut pulang malam, bahkan sampai mall-nya mau tutup. Dia memutuskan akan naik taxi saja. Khan mengantar sampai ke taxi yang mangkal disitu. Sebelum Marinka masuk kedalam taxi, dia bertanya, apakah boleh memeluknya. Marinka menghambur dalam pelukannya yang erat dan hangat. Dia menunduk dan mencium bibir gadis itu sebentar, kali ini tanpa bertanya lebih dulu tapi Marinka juga tak keberatan. Dia menyukainya. Bahasa tubuhnya membuat nyaman karena tak merasa dilecehkan. Dia juga tidak bersedih dan bertekad menyimpan semua ini menjadi kenangan yang terindah. Apapun yang terjadi esok, bisa melihatnya lagi atau tidak, dia tak peduli.
*
                Seminggu kemudian, ketika sahabat bertemu di café Moonlight. Marinka bercerita tentang Khan.
                “ Huhuhu….so sad,” Stephani menatap dengan airmata menggenang disudut matanya. Dia dan Soraya daritadi mendengarkan cerita Marinka.
                “ Waduh aku speechless nih, Inka,” ujar Soraya sambil menatap sahabatnya. “ Kenapa orang yang seperti itu justru pergi? “
                Marinka tersenyum. “ Siapa bilang pergi? Sampai saat ini kami masih berhubungan lewat e-mail dan YM kok,” katanya ringan.
                “ Tapi dia nggak ada disini “ Soraya berkeras. Sementara Stephani sibuk mengelap sudut matanya dengan tissue.
                “ Nggak apa-apa, kalau jodoh tak kemana,” Marinka tetap berkata dengan ringan tanpa beban.
                “ Aku kepengen kenal Khan, kayaknya baik ya,” ucap Stephani polos.
                Kedua sahabatnya langsung memandangi Stephani dengan pandangan geli.
                “ Lagi PMS, ya? Kok mellow gitu? “ Tuduh Soraya.
                “ Kok kamu yang nangis sih, Step? “ Marinka terseyum geli. Sebagai ‘saudari’ bungsu, Stephani seringkali menjadi yang paling manja diantara mereka bertiga.
                Bibir tipis Stephani langsung manyun. “ Aku kan ingin sahabatku tercinta, kakak tersayangku, bahagia “
                “ Ya nggak gitu juga kali, Step “ Ujar Soraya. “ Kamu lihat kan dia bahagia dan cerita tentang Khan juga bahagia. Siapa yang tahu kalau suatu hari nanti mereka bisa bertemu kembali dan malah berjodoh “
                “ Amin,” Stephani dan Marinka menjawab serempak.
                “ Hey sudahlah, kita sudah sepakat untuk tidak mengejar apa yang bukan milik kita, mencintai apa yang ada didepan mata dan hidup untuk hari ini, bukan? “ Kata Marinka berusaha bijak.
                “ Bukaaan,” canda Soraya.
                Stephani mengangguk, tersenyum manis. Dia mengangkat gelas berisi ice lemon tea-nya. “ Toss buat persahabatan kita “

                Kedua temannya mengikuti, mengangkat gelas mereka.
“ Friends forever! “ Seru ketiganya bersamaan.
           Petang itu terlewati dengan cerita-cerita seru ketiga sahabat itu. Kali ini mereka membahas seorang laki-laki bernama Agastya Khan, tanpa perlu memasukkan nama itu dalam kotak L mereka. Bahkan mereka antusias melihat foto Khan di HP Marinka yang sempat diambilnya ketika ketemuan waktu itu. Semua itu membuat ketiganya yakin, masih ada laki-laki baik diluar sana yang pantas menjadi pasangan jiwa dan tidak semua laki-laki itu pecundang.

***