Rabu, 15 Februari 2017

Hanya Cinta Yang Bisa (bagian 2)



HANYA CINTA YANG BISA
(bagian 2)

                Jauh dilubuk hati seorang Marinka, tak dapat dipungkiri bahwa dia masih menyimpan cintanya untuk seorang Dion. Dia tak pernah bisa benar-benar melupakan laki-laki itu. Bahkan ketika mengingat rasa sakit hati menerima perlakuan kedua kakak perempuan serta mamanya Dion, yang terang-terangan menentang hubungan mereka. Alasannya klasik, perbedaan status sosial mereka. Dion memang anak seorang pengusaha terkenal, sementara Marinka dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan membiayai kuliahnya sendiri dan sekolah Claris adiknya, dengan bekerja apa saja asal menghasilkan uang yang halal. Keluarga Dion menganggap Marinka hanya memanfaatkan kekayaan keluarga mereka. Belum lagi ada Pramita, mantan kekasih Dion yang menganggap Marinka sebagai penyebab putusnya hubungan mereka. Kisah mereka begitu rumit sampai akhirnya Marinka menyerah dan memutuskan berhenti kuliah, pindah kontrakan dan memutus segala sesuatu yang bisa membuatnya terhubung lagi dengan Dion.
                Itu terjadi sebelum Marinka tertemu dan akhirnya bersahabat dengan Soraya maupun Stephani, apalagi Belinda yang baru belakangan bergabung. Makanya baik Soraya maupun Stephani tak pernah tahu kisah itu. Mereka tak pernah tahu Marinka pernah kuliah selain di Universitas Terbuka, seperti yang dia bilang ketika pertama kali pertemanan mereka. Marinka tak ingin mengingat cerita lama dan berusaha menguburnya dalam-dalam.
                Seketika kumpulan Rayan-Belinda, Yudha-Soraya dan Zoland-Stephani di restaurant itu menjadi sunyi. Ketika dengan Dion dan Marinka bergantian bercerita tentang kisah masa lalu mereka. Tak ada yang ingin menjadikan kisah yang begitu membekas dihati sepasang manusia itu, menjadi bahan guyonan. Semuanya menyadari, baik dari nada suara Delon maupun Marinka, keduanya sama-sama menyimpan rasa masing-masing dalam diam.
                “ Sejak lahir, saya punya kelainan darah yang langka, karena keadaan genetik,” ujar Dion kemudian, tenang. Marinka tersenyum memandanginya. Sementara yang lain menyimak dengan rasa ingin tahu.
                “ I’m dying actually,” sambung Dion, masih setenang tadi. “ Inka tahu dari dulu tapi keluargaku sendiri seperti tak mau menerima. Mereka sibuk membawaku ke RS mana saja diluar negri. Padahal saya juga heran masih hidup sampai saat ini. Mungkin karena saya masih mencari kamu, Inka “
                Marinka masih tersenyum menatapnya, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Spontan Stephani yang duduk disampingnya, memeluk dan mengelus pundak Marinka dengan raut wajah sedih.
                “ Hey, saya merusak acara bahagia kalian,” Dion mencoba tertawa, menatapi satu persatu wajah-wajah yang menatapnya dengan empati. “ Come on, I’m still alive right now…”
“ Aku nggak tahu itu,” kata Rayan. “ Dulu kamu kadang nggak datang kekantor, kupikir sales call kemana. Walaupun heran juga, bisa lebih dari seminggu lamanya “
Dion tertawa kecil. “ Itu kan perusahaan milik om-ku, Rayan.  Tapi nggak ada yang tahu “
“ Ya akhirnya kamu resign karena bilangnya mau bikin usaha sendiri dan setahuku perusahaan advertising yang kamu buat itu memang ada dan maju, sampai sekarang kan? “ Ucap Rayan lagi.
“ Salah satu perusahaan milik papaku, bro “ Dion tersenyum lebar.
“ Memangnya tidak ada yang bisa mengobati penyakitmu? “ Tanya Soraya dengan raut wajah prihatin. “ Dinegara secanggih Amerika gitu? “
Dion menanggapinya dengan tetap tersenyum lebar. “ Pada akhirnya mereka hanya memutuskan bahwa penyakitku sebenarnya adalah leukemia, harus cangkok sumsum belakang, harus kemoterapi, semua sudah saya lakukan “ Dion mengatakan hal itu dengan ringan, sambil mengusap kepala plontosnya. “ Oh ya…..besok saya harus berangkat lagi untuk berobat “
“ Oh,” Marinka berucap singkat.
Dion memandang berkeliling, kepada semua yang ada disitu dan berkata, “ Karena kalian adalah sahabat-sahabat Inka, jadi saya minta ijin untuk membawa Inka bersama saya ke apartemen saya “
Mendadak hening. Muncul wajah-wajah terkejut yang saling menatap satu sama lain. Tak terkecuali Marinka.
“ Yah…kurasa nggak apa-apa, tapi terserah Inka mau atau enggak,” akhirnya Belinda buka suara.
“ Yup, terserah Marinka,” Rayan mendukung istrinya.
Zoland dan Stephani hanya saling bertukar pandang.
“ Saya nggak setuju,” tiba-tiba Soraya angkat bicara dengan nada protes. Yudha disampingnya, menoleh, terlihat kaget. Yang lain mau tak mau melihat kearahnya.
“ Kenapa? “ Tanya Dion tenang.
Soraya menarik nafas panjang sebelum bicara, “ Bagaimanapun Inka pernah patah hati karenamu. Lalu sekarang kamu datang entah dari mana dan mengajaknya bersamamu. Yakin kamu tidak akan membuatnya patah hati dua kali? Yakin ? “ . Soraya menatap Dion, kemudian beralih pada Marinka.
“ Aya nggak boleh ngomong gitu,” Stephani yang lembut hati, berkata setengah berbisik, menatap sahabatnya itu.
“ Kenapa? Saya hanya memikirkan perasaan Inka. Andai saya diposisi dia, hal seperti ini pasti sangat menguras perasaan,” ujar Soraya lugas. Diantara mereka, memang dia yang paling tegas bicara.
“ Yah, Aya benar kok,” Yudha bersuara, menengahi. “ Tapi bagaimanapun terserah Inka. Kita semua sudah dewasa disini dan bisa bertanggungjawab dengan segala yang kita perbuat “
“ Setuju,” timpal Zoland.
Sekarang semua mata tertuju pada Marinka. Termasuk juga Dion. Wajahnya terlihat sangat tenang. Dia sepertinya tidak khawatir sedikitpun, apapun keputusan yang diambil oleh gadis yang sangat dikasihinya itu.
Sekarang Marinka  yang terdiam. Menunduk sebentar lalu mengangkat kepalanya. Menatap wajah sahabat-sahabatnya. Semua tampak memasang wajah bertanya. Kecuali Soraya yang memberinya gelengan kepala kecil, menatapnya dengan tatapan memohon.
“ Saya ikut Dion,” putus Marinka sambil menarik nafas panjang. Menatap Dion sambil tersenyum
Senyum mengembang dibibir pucat laki-laki yang pernah sangat dicintainya itu. Matanya tak berkedip memandang Marinka.
“ Kamu yakin, Inka? “ Tanya Soraya seakan nggak puas dengan keputusan sahabatnya. Sementara Yudha langsung melingkarkan tangannya kebahu Soraya, seperti menenangkan.
“ Saya mencintai Dion, dari dulu bahkan sampai saat ini,” jawab Marinka, tersenyum kecil. “ Karena cinta bukan cuma ngomong, iya saya yakin saya ingin bersama dia “
“ Oke,” kata Soraya akhirnya.
“ Shall we? “ Dion berdiri dan mengulurkan tangannya pada Marinka. Gadis itu berdiri dan berjalan mendekat.
“ Harus sekarang ya? “ Soraya protes. Kali ini langsung dirangkul Yudha yang tertawa kecil.
Semua yang ada disitu tertawa melihat adegan itu.
“ Pesawat saya berangkat besok pagi ke Singapore,” kata Dion. Dia beranjak dari tempatnya dan sekarang berdiri disamping Marinka, melingkarkan tangannya dipinggang gadis itu.
“ Tapi Inka nggak ikut ke Singapore kan? “ Tanya Soraya.
“ Oh enggak lah. Dia kan harus kerja Senin lusa. Kecuali kalau dia memang mau ikut,” jawab Dion.
            “ Terus? Orangtua kamu, kakak-kakakmu yang katanya nggak suka sama Inka, gimana? “ Soraya bertanya lagi.
“ Sudah setahun saya tinggal sendiri di apartemen. Saya bilang pada keluarga saya, saya nggak mau terus menerus dianggap nggak berdaya jadi harus selalu diperhatikan,” sahut Dion tertawa kecil.
“ Wooo….jadi kalian akan berduaan saja? Hmmm….” Soraya mengedipkan sebelah matanya.
“ Aya….” Yudha mencubit gemas pipi kekasihnya. Yang lain tertawa.
“ Jangan khawatir, saya nggak bermaksud buruk padanya,” ujar Dion sambil menarik Marinka kedalam pelukannya. Kemudia dia mencium kening gadis.
“ Oke,” Soraya mengangkat kedua tangannya. “ Apapun itu “
“ Titip Inka, Dion “ Pesan Belinda.
“ Take care ya, “ tambah Stephani.
Keduanya pamit sambil tangan Dion terus memeluk pinggang Marinka. Meninggalkan sekumpulan yang sekarang entah ngobrolin apa. Mungkin juga tentang mereka, salah satu topiknya. Mereka menuju pintu utama Mall, karena ternyata Dion membawa supir pribadinya. Laki-laki itupun menghubungi supirnya agar menjemput mereka di Lobby.
Sebenarnya Marinka tidak terlalu yakin dengan keputusan mengikuti Dion dan meninggalkan acara bersama sahabat-sahabatnya begitu saja. Tapi melihat raut wajah Dion yang seperti menyimpan sesuatu dan fisiknya yang terlihat lemah walaupun dia terlihat berusaha tegar, membuat gadis itu ingin berada disampingnya dan setidaknya memberikan support-nya. Hal lain yang mendorongnya, tentu saja cinta.
Sebuah Kijang Innova berwarna metalik, berhenti dihadapan keduanya. Supirnya turun dan membukakan pintu.
“ Yuk Inka “ Dion mempersilakannya naik, baru kemudian dia naik ke mobil.
“ Langsung pulang ya pak Arya,” kata Dion pada supirnya. Tangannya menggenggam tangan Marinka. Mereka tidak bisa duduk berdekatan karena kursi mobilnya memang satu-satu.
“ You never know that I miss you so much,” kata Dion sambil menatap Marinka mesra. “ Saya selalu berharap bisa bertemu kamu lagi, walaupun mungkin untuk terakhir kali “
“ Nggak boleh ngomong gitu,” geleng Marinka membalas tatapannya. “ Sekarang saya bersamamu dan saya nggak keberatan menemanimu “
“ I just wanna hold you tight and fall a sleep beside you by my side “, ucap Dion. Dia sengaja tak berbahasa Indonesia mungkin karena tak ingin supirnya mendengar percakapan mereka.
“ Saya juga,” senyum Marinka.
Tak berapa lama, mobil itu memasuki halaman sebuah gedung apartemen mewah. Ternyata Dion tinggal tak jauh dari situ. Padahal selama ini Marinka juga sering menyambangi Toko Bunga milik Stephani yang letaknya dikumpulan ruko, persis berseberangan dengan Apartemen itu. Takdir memang baru mempertemukan mereka lagi sekarang.
Mobil berhenti didepan lobby besar dengan design modern. Dion turun lebih dahulu dan mengulurkan tangannya membantu Marinka turun. Hal yang tak perlu dilakukan sebenarnya, tapi gadis itu senang dengan perlakuan manis yang diterimanya itu. Pintu lobby dibukakan seorang petugas yang menyapa dengan ramah. Keduanya memasuki lobby dan langsung menuju lift.
Berdua saja didalam lift, Dion menarik Marinka dalam pelukannya dan mencium keningnya. Marinka tertawa canggung. Dia takut jika lift berhenti dan terbuka, tiba-tiba aka nada orang lain yang melihat adegan itu. Tapi ternyata itu hanya kekhawatirannya saja, karena begitu pintu lift terbuka, langsung berada diruang tamu apartemen Dion. Lift-nya memang khusus menuju kamar yang dimaksud tanpa melalui koridor lagi.
“ Saya capek, Inka “ kata Dion sambil menariknya masuk kekamar tidur. Tanpa bisa menolak, Marinka mengikuti. “ Jangan khawatir, saya tidak akan melakukan apa yang pernah kita lakukan dulu “. Dion tertawa kecil. Membuka selimut tempat tidurnya dan berbaring disitu.
Marinka berdiri disisi tempat tidur. Membuka sepatu dan menaruhnya dipojokan dengan tas tangannya. Masih mengenakan blus dan celana panjangnya, dia naik ketempat tidur dan masuk dalam pelukan Dion. Untuk beberapa saat, mereka hanya berpelukan tanpa bicara. Sampai Marinka menengadah dan mencium lembut bibir Dion.
“ Seperti kubilang, I’m dying, saya sekarat dan saya tahu, waktu saya tidak banyak “ Dion berbisik dengan suara bergetar.
Marinka tidak membiarkannya bicara lagi. Dia hanya membelai kepala Dion dan menciuminya tanpa henti. Dan Dion membalasnya. Entah berapa lama mereka melakukannya sampai akhirnya keduanya terlelap.
Tiba-tiba saja Marinka membuka mata, bingung menyadari dimana dia berada, karena sekelilingnya bukanlah kamarnya. Ketika kesadarannya perlahan muncul, dia baru ingat bahwa dia lupa memberitahu Claris adiknya kalau dia tidak pulang. Pasti adiknya menghubunginya semalam. Cepat dia bangun, menyibak selimut dan menyadari bahwa dia masih lengkap memakai pakaiannya yang semalam. Lalu bingung, dia sendirian. Dimana Dion?
“ Dion? “ Panggilnya, sambil keluar kamar. Sinar mentari pagi mengintip dari tirai diruang tamu, tapi tak ada siapa-siapa disitu. Marinka kebingungan dan mencari kearah pintu yang terbuka satunya, ternyata pantry dan Dion ada disitu, duduk sambil termenung memandang keluar jendela.
“ Inka kok sudah bangun? Masih kepagian ini, “ sapa Dion ketika menyadari kehadiran Marinka.
“ Kamu kenapa sudah bangun jam segini? “ Marinka mendekat dan memeluk Dion dari belakang.
Dion berbalik dan menciumnya. “ Saya selalu bangun jam segini, sayang “
“ Jam berapa pesawatmu ke Singapore? “ Tanya Marinka.
“ Saya cancel,” sahut Dion tenang.
Marinka terbelalak. “ Jangan bercanda deh “
Dion tertawa kecil. Tanpa berkata apa-apa, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebentuk cincin. Itu cincin pemberiannya untuk Marinka dulu dan dikembalikan saat Marinka memutuskan untuk pergi darinya. Dia meraih tangan kanan Marinka dan memasang cincin itu dijari manisnya. Marinka hanya terdiam sambil memandanginya. Tak mampu berkata-kata.
“ Will you marry me, Marinka? “ Tanya Dion dengan nada serius sambil menatap Marinka.
“ Yes,” sahut Marinka cepat. Entah apa yang membuatnya berkata tanpa berpikir lagi. “ Tapi kamu harus melanjutkan pengobatanmu dan harus sembuh “
Dion tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “ Bukan saya yang berhak menentukan apakah saya bisa sembuh atau tidak, tapi DIA “, tangannya menunjuk keatas.
“ Lalu? Maksud kamu? “ Marinka tak mengerti.
“ Kita menikah, lalu keliling dunia berdua. Kalaupun saya tidak pernah sembuh, setidaknya saya bersamamu sampai akhir hidupku, “ kata Dion mantap. “ Saya capek terus-terusan dirumah sakit dengan segala suntikan, infus, obat yang nggak berhenti. Saya capek “ Suaranya berubah memelas.
Marinka tidak tega mendengarnya. Tapi hati kecilnya tahu, bukan karena kasihan dia memutuskan bersama Dion, tapi rasa cintanya yang besar yang membuatnya begitu.
“ Orangtuamu? “ Tanya Marinka pelan.
“ Kita menikah minggu depan, “ ujar Dion antusia seakan tak mendengar pertanyaan Marinka. “ Sayang kamu berhenti kerja dan kita langsung keliling dunia.
            “ Tunggu….tunggu….ini hidupku lho,” Marinka tertawa kecil. “ Saya juga masih punya Claris walaupun dia sudah bekerja sambil kuliah “
“ Exactly! Hidupmu…..bersamaku,” Dion berusaha meyakinkan. “ Saya tanggungjawab seluruh kehidupanmu, juga Claris. Please….jangan ditolak. Saya tahu selama ini kamu mandiri dan berhasil membangun hidupmu sendiri. Tapi untuk kali ini, hiduplah bersamaku. Saya membutuhkanmu “ Suara Dion bergetar.
“ Minggu depan, Dion? “ Marinka menghela nafas panjang.
“ Kamu percaya padaku, sayang? Karena kalau kamu tidak percaya, maka semua ini tidak ada artinya, “ ujar Dion sambil memegang kedua pipi Marinka dengan kedua tangannya, lalu mencium lembut bibirnya.
Marinka memejamkan matanya. Berkata dalam hati, memanggil nama Tuhan, meminta petunjuk. Dan ketika membuka matanya, dia melihat mata Dion yang bersinar penuh harap. Sinar mata yang semula nyaris hilang dari situ. Laki-laki itu seperti menemukan kekuatannya kembali.
“ Saya percaya sama Tuhan,” ucap Marinka pelan. “ Dan saya percaya kalau memang ini jalanNya, semua akan dimudahkan.
“ Yess! “ Dion berteriak kecil. Wajahnya yang kemarin pucat, kini mulai kemerahan. “ I love you, Inka…..”
“ I love you too,” Marinka tersenyum.
Setelah itu dia tak bisa menghentikan apa yang dilakukan Dion. Dengan semangat dia membuka laptopnya, telepon sana-sini, entah pada siapa dia berbicara. Dibiarkannya saja semua itu. Marinka hanya menghubungi Claris mengabari kalau dia baik-baik saja dan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
Seharian dia berada di apartemen itu. Dion memesan makan siang entah dari mana. Begitu makanan datang, tidak lama kemudian datang juga dua orang perempuan dan satu laki-laki, ternyata dari wedding organizer. Dion mengajaknya memilih gaun pengantin, jas untuknya, sampai kue pengantin dan hidangan pesta. Marinka menurutinya tanpa banyak protes. Dia tak menolak ketika Dion ingin pemberkatan nikah sekaligus pesta nikahnya diadakan diapartemennya saja tanpa mengundang banyak orang, hanya kerabat dan teman-temannya.
Ternyata segala sesuatunya berjalan tanpa ada kendala berarti. Orangtua Dion menerima Marinka tanpa banyak bicara, begitu juga kedua kakaknya. Sepertinya mereka lebih takut kehilangan Dion, jika tak menyetujui kemauannya. Sahabat-sahabat Marinka juga menerima hal tersebut tanpa banyak bertanya. Mungkin karena mereka melihat Marinka yang begitu tenang menghadapi semua itu. Untuk Claris yang tentu saja ikut bahagia, Dion membelikannya satu unit two bed rooms apartemen digedung yang sama, hanya beda lantai. Marinka mengajukan resign dadakan yang tentu saja semula ditolak atasannya, tapi akhirnya disetujui juga. Hanya dalam hitungan hari, semua keperluan terpenuhi.
                Dan hari Minggu itu diruang tamu apartemen yang sudah dihiasi bunga-bunga cantik, tepat jam 10 pagi, dengan bergaun putih berpotongan sederhana, Marinka terlihat sangat cantik. Berdampingan dengan Dion yang mengenakan jas berwarna abu-abu tua, keduanya mengucapkan janji pernikahan dan menerima pemberkatan nikah dari seorang pendeta. Setelah itu acara makan-makan yang diadakan disitu juga. Beberapa pelayan berkeliling membawa canapé dan minuman. Pada beberapa sudut ada beberapa chafing dish berisi hidangan ala barat seperti spaghetti, macaroni schotel dan hidangan jepang seperti sushi-sashimi dan tempura.
                Dion terlihat sangat bahagia. Sepanjang acara dia sibuk menyapa satu persatu yang hadir disitu bersama Marinka yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya. Sesekali, dia menarik istrinya dengan lembut dan mencium keningnya, membuat Marinka tersipu malu. Disalah satu sudut, tampak kedua orangtua Dion hanya memperhatikan dalam diam. Sesekali mamanya mengusap sudut matanya. Namun keduanya terlihat ikut larut dalam kebahagiaan bungsu putra satu-satunya dalam keluarga. Kedua kakak Dion bersama pasangan masing-masing juga terlihat mengobrol dengan kerabat mereka. Setiap individu yang hadir dipesta itu, tahu keadaan Dion dan tentu saja ikut bahagia dengan perkembangan terbaru ini.
                Sahabat-sahabat Marinka, berdiri berkumpul bersama disalah satu sudut. Dion dan Marinka mendekati kumpulan itu. Yang laki-laki segera menyambut dengan jabatan tangan, pelukan dan tepukan dibahu. Yang perempuan, mengelilingi Marinka, sibuk berpelukan dan cium pipi.
                “ I’m happy for you kakak,” bisik Stephani dengan mata berkaca-kaca.
                “ Saya selalu berdoa untuk kalian berdua,” tambah Soraya.
                “ Terima kasih,” ucap Marinka terharu. Ketiganya berpelukan.
                Tiba-tiba tangan Dion menarik lengan Soraya dan memeluknya. “ Terima kasih sudah mempercayai saya, “ katanya.
                Soraya membalas pelukannya dan mencium kedua pipi Dion. “ Saya yakin kamu akan membahagiakan sahabat saya, karena saya melihat kalian saling mencintai “ Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
                Marinka melihat hal itu dengan rasa haru memenuhi perasaannya. Siapa yang menyangka, ketika sahabat-sahabatnya mulai menemukan pasangan hatinya masing-masing, justru dia yang lebih dulu menikah.
Malam nanti, dia dan Dion akan memulai perjalanan mereka mengunjungi berbagai daerah sambil menunggu visa Schengen mereka selesai, lalu akan mulai dengan keliling negara-negara di Eropa, entah untuk berapa lama. Tentu dengan perjanjian, mereka tetap akan datang kepesta pernikahan Stephani dan Zoland.
Dion kembali kesisinya, memeluk pinggangnya dengan erat dan mencium keningnya dengan mesra. Marinka menatap kekasih hatinya dengan penuh cinta, suaminya.
“ I love you my wife,” bisik Dion ditelinganya.
“ I love you my hubby,” balasnya tersenyum.
Dengan apapun kondisinya, hanya cinta yang bisa membuat segalanya menjadi indah. Hanya cinta yang bisa membuat mereka mampu menghadapi apapun yang akan terjadi. Hanya cinta yang bisa …….

                                                                                      ***

Timika, 16 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar