HANYA CINTA YANG BISA
(bagian 2)
Jauh
dilubuk hati seorang Marinka, tak dapat dipungkiri bahwa dia masih menyimpan
cintanya untuk seorang Dion. Dia tak pernah bisa benar-benar melupakan
laki-laki itu. Bahkan ketika mengingat rasa sakit hati menerima perlakuan kedua
kakak perempuan serta mamanya Dion, yang terang-terangan menentang hubungan
mereka. Alasannya klasik, perbedaan status sosial mereka. Dion memang anak
seorang pengusaha terkenal, sementara Marinka dari keluarga biasa-biasa saja,
bahkan membiayai kuliahnya sendiri dan sekolah Claris adiknya, dengan bekerja
apa saja asal menghasilkan uang yang halal. Keluarga Dion menganggap Marinka
hanya memanfaatkan kekayaan keluarga mereka. Belum lagi ada Pramita, mantan
kekasih Dion yang menganggap Marinka sebagai penyebab putusnya hubungan mereka.
Kisah mereka begitu rumit sampai akhirnya Marinka menyerah dan memutuskan
berhenti kuliah, pindah kontrakan dan memutus segala sesuatu yang bisa membuatnya
terhubung lagi dengan Dion.
Itu
terjadi sebelum Marinka tertemu dan akhirnya bersahabat dengan Soraya maupun
Stephani, apalagi Belinda yang baru belakangan bergabung. Makanya baik Soraya
maupun Stephani tak pernah tahu kisah itu. Mereka tak pernah tahu Marinka
pernah kuliah selain di Universitas Terbuka, seperti yang dia bilang ketika
pertama kali pertemanan mereka. Marinka tak ingin mengingat cerita lama dan
berusaha menguburnya dalam-dalam.
Seketika
kumpulan Rayan-Belinda, Yudha-Soraya dan Zoland-Stephani di restaurant itu menjadi
sunyi. Ketika dengan Dion dan Marinka bergantian bercerita tentang kisah masa
lalu mereka. Tak ada yang ingin menjadikan kisah yang begitu membekas dihati
sepasang manusia itu, menjadi bahan guyonan. Semuanya menyadari, baik dari nada
suara Delon maupun Marinka, keduanya sama-sama menyimpan rasa masing-masing
dalam diam.
“ Sejak
lahir, saya punya kelainan darah yang langka, karena keadaan genetik,” ujar Dion
kemudian, tenang. Marinka tersenyum memandanginya. Sementara yang lain menyimak
dengan rasa ingin tahu.
“ I’m
dying actually,” sambung Dion, masih setenang tadi. “ Inka tahu dari dulu tapi
keluargaku sendiri seperti tak mau menerima. Mereka sibuk membawaku ke RS mana
saja diluar negri. Padahal saya juga heran masih hidup sampai saat ini. Mungkin
karena saya masih mencari kamu, Inka “
Marinka
masih tersenyum menatapnya, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Spontan Stephani
yang duduk disampingnya, memeluk dan mengelus pundak Marinka dengan raut wajah
sedih.
“ Hey,
saya merusak acara bahagia kalian,” Dion mencoba tertawa, menatapi satu persatu
wajah-wajah yang menatapnya dengan empati. “ Come on, I’m still alive right
now…”
“ Aku nggak tahu itu,” kata Rayan.
“ Dulu kamu kadang nggak datang kekantor, kupikir sales call kemana. Walaupun
heran juga, bisa lebih dari seminggu lamanya “
Dion tertawa kecil. “ Itu kan
perusahaan milik om-ku, Rayan. Tapi
nggak ada yang tahu “
“ Ya akhirnya kamu resign karena
bilangnya mau bikin usaha sendiri dan setahuku perusahaan advertising yang kamu
buat itu memang ada dan maju, sampai sekarang kan? “ Ucap Rayan lagi.
“ Salah satu perusahaan milik
papaku, bro “ Dion tersenyum lebar.
“ Memangnya tidak ada yang bisa
mengobati penyakitmu? “ Tanya Soraya dengan raut wajah prihatin. “ Dinegara
secanggih Amerika gitu? “
Dion menanggapinya dengan tetap
tersenyum lebar. “ Pada akhirnya mereka hanya memutuskan bahwa penyakitku
sebenarnya adalah leukemia, harus cangkok sumsum belakang, harus kemoterapi,
semua sudah saya lakukan “ Dion mengatakan hal itu dengan ringan, sambil
mengusap kepala plontosnya. “ Oh ya…..besok saya harus berangkat lagi untuk
berobat “
“ Oh,” Marinka berucap singkat.
Dion memandang berkeliling, kepada
semua yang ada disitu dan berkata, “ Karena kalian adalah sahabat-sahabat Inka,
jadi saya minta ijin untuk membawa Inka bersama saya ke apartemen saya “
Mendadak hening. Muncul wajah-wajah
terkejut yang saling menatap satu sama lain. Tak terkecuali Marinka.
“ Yah…kurasa nggak apa-apa, tapi
terserah Inka mau atau enggak,” akhirnya Belinda buka suara.
“ Yup, terserah Marinka,” Rayan
mendukung istrinya.
Zoland dan Stephani hanya saling
bertukar pandang.
“ Saya nggak setuju,” tiba-tiba
Soraya angkat bicara dengan nada protes. Yudha disampingnya, menoleh, terlihat
kaget. Yang lain mau tak mau melihat kearahnya.
“ Kenapa? “ Tanya Dion tenang.
Soraya menarik nafas panjang sebelum
bicara, “ Bagaimanapun Inka pernah patah hati karenamu. Lalu sekarang kamu
datang entah dari mana dan mengajaknya bersamamu. Yakin kamu tidak akan
membuatnya patah hati dua kali? Yakin ? “ . Soraya menatap Dion, kemudian
beralih pada Marinka.
“ Aya nggak boleh ngomong gitu,”
Stephani yang lembut hati, berkata setengah berbisik, menatap sahabatnya itu.
“ Kenapa? Saya hanya memikirkan
perasaan Inka. Andai saya diposisi dia, hal seperti ini pasti sangat menguras
perasaan,” ujar Soraya lugas. Diantara mereka, memang dia yang paling tegas
bicara.
“ Yah, Aya benar kok,” Yudha
bersuara, menengahi. “ Tapi bagaimanapun terserah Inka. Kita semua sudah dewasa
disini dan bisa bertanggungjawab dengan segala yang kita perbuat “
“ Setuju,” timpal Zoland.
Sekarang semua mata tertuju pada
Marinka. Termasuk juga Dion. Wajahnya terlihat sangat tenang. Dia sepertinya
tidak khawatir sedikitpun, apapun keputusan yang diambil oleh gadis yang sangat
dikasihinya itu.
Sekarang Marinka yang terdiam. Menunduk sebentar lalu mengangkat
kepalanya. Menatap wajah sahabat-sahabatnya. Semua tampak memasang wajah
bertanya. Kecuali Soraya yang memberinya gelengan kepala kecil, menatapnya
dengan tatapan memohon.
“ Saya ikut Dion,” putus Marinka
sambil menarik nafas panjang. Menatap Dion sambil tersenyum
Senyum mengembang dibibir pucat
laki-laki yang pernah sangat dicintainya itu. Matanya tak berkedip memandang
Marinka.
“ Kamu yakin, Inka? “ Tanya Soraya
seakan nggak puas dengan keputusan sahabatnya. Sementara Yudha langsung
melingkarkan tangannya kebahu Soraya, seperti menenangkan.
“ Saya mencintai Dion, dari dulu
bahkan sampai saat ini,” jawab Marinka, tersenyum kecil. “ Karena cinta bukan
cuma ngomong, iya saya yakin saya ingin bersama dia “
“ Oke,” kata Soraya akhirnya.
“ Shall we? “ Dion berdiri dan
mengulurkan tangannya pada Marinka. Gadis itu berdiri dan berjalan mendekat.
“ Harus sekarang ya? “ Soraya
protes. Kali ini langsung dirangkul Yudha yang tertawa kecil.
Semua yang ada disitu tertawa
melihat adegan itu.
“ Pesawat saya berangkat besok pagi
ke Singapore,” kata Dion. Dia beranjak dari tempatnya dan sekarang berdiri
disamping Marinka, melingkarkan tangannya dipinggang gadis itu.
“ Tapi Inka nggak ikut ke Singapore
kan? “ Tanya Soraya.
“ Oh enggak lah. Dia kan harus
kerja Senin lusa. Kecuali kalau dia memang mau ikut,” jawab Dion.
“ Terus? Orangtua kamu,
kakak-kakakmu yang katanya nggak suka sama Inka, gimana? “ Soraya bertanya
lagi.
“ Sudah setahun saya tinggal
sendiri di apartemen. Saya bilang pada keluarga saya, saya nggak mau terus
menerus dianggap nggak berdaya jadi harus selalu diperhatikan,” sahut Dion
tertawa kecil.
“ Wooo….jadi kalian akan berduaan
saja? Hmmm….” Soraya mengedipkan sebelah matanya.
“ Aya….” Yudha mencubit gemas pipi
kekasihnya. Yang lain tertawa.
“ Jangan khawatir, saya nggak
bermaksud buruk padanya,” ujar Dion sambil menarik Marinka kedalam pelukannya.
Kemudia dia mencium kening gadis.
“ Oke,” Soraya mengangkat kedua
tangannya. “ Apapun itu “
“ Titip Inka, Dion “ Pesan Belinda.
“ Take care ya, “ tambah Stephani.
Keduanya pamit sambil tangan Dion
terus memeluk pinggang Marinka. Meninggalkan sekumpulan yang sekarang entah
ngobrolin apa. Mungkin juga tentang mereka, salah satu topiknya. Mereka menuju
pintu utama Mall, karena ternyata Dion membawa supir pribadinya. Laki-laki
itupun menghubungi supirnya agar menjemput mereka di Lobby.
Sebenarnya Marinka tidak terlalu
yakin dengan keputusan mengikuti Dion dan meninggalkan acara bersama
sahabat-sahabatnya begitu saja. Tapi melihat raut wajah Dion yang seperti
menyimpan sesuatu dan fisiknya yang terlihat lemah walaupun dia terlihat
berusaha tegar, membuat gadis itu ingin berada disampingnya dan setidaknya
memberikan support-nya. Hal lain yang mendorongnya, tentu saja cinta.
Sebuah Kijang Innova berwarna
metalik, berhenti dihadapan keduanya. Supirnya turun dan membukakan pintu.
“ Yuk Inka “ Dion mempersilakannya
naik, baru kemudian dia naik ke mobil.
“ Langsung pulang ya pak Arya,”
kata Dion pada supirnya. Tangannya menggenggam tangan Marinka. Mereka tidak
bisa duduk berdekatan karena kursi mobilnya memang satu-satu.
“ You never know that I miss you so
much,” kata Dion sambil menatap Marinka mesra. “ Saya selalu berharap bisa
bertemu kamu lagi, walaupun mungkin untuk terakhir kali “
“ Nggak boleh ngomong gitu,” geleng
Marinka membalas tatapannya. “ Sekarang saya bersamamu dan saya nggak keberatan
menemanimu “
“ I just wanna hold you tight and
fall a sleep beside you by my side “, ucap Dion. Dia sengaja tak berbahasa
Indonesia mungkin karena tak ingin supirnya mendengar percakapan mereka.
“ Saya juga,” senyum Marinka.
Tak berapa lama, mobil itu memasuki
halaman sebuah gedung apartemen mewah. Ternyata Dion tinggal tak jauh dari
situ. Padahal selama ini Marinka juga sering menyambangi Toko Bunga milik
Stephani yang letaknya dikumpulan ruko, persis berseberangan dengan Apartemen
itu. Takdir memang baru mempertemukan mereka lagi sekarang.
Mobil berhenti didepan lobby besar
dengan design modern. Dion turun lebih dahulu dan mengulurkan tangannya
membantu Marinka turun. Hal yang tak perlu dilakukan sebenarnya, tapi gadis itu
senang dengan perlakuan manis yang diterimanya itu. Pintu lobby dibukakan
seorang petugas yang menyapa dengan ramah. Keduanya memasuki lobby dan langsung
menuju lift.
Berdua saja didalam lift, Dion
menarik Marinka dalam pelukannya dan mencium keningnya. Marinka tertawa
canggung. Dia takut jika lift berhenti dan terbuka, tiba-tiba aka nada orang
lain yang melihat adegan itu. Tapi ternyata itu hanya kekhawatirannya saja,
karena begitu pintu lift terbuka, langsung berada diruang tamu apartemen Dion.
Lift-nya memang khusus menuju kamar yang dimaksud tanpa melalui koridor lagi.
“ Saya capek, Inka “ kata Dion
sambil menariknya masuk kekamar tidur. Tanpa bisa menolak, Marinka mengikuti. “
Jangan khawatir, saya tidak akan melakukan apa yang pernah kita lakukan dulu “.
Dion tertawa kecil. Membuka selimut tempat tidurnya dan berbaring disitu.
Marinka berdiri disisi tempat
tidur. Membuka sepatu dan menaruhnya dipojokan dengan tas tangannya. Masih
mengenakan blus dan celana panjangnya, dia naik ketempat tidur dan masuk dalam
pelukan Dion. Untuk beberapa saat, mereka hanya berpelukan tanpa bicara. Sampai
Marinka menengadah dan mencium lembut bibir Dion.
“ Seperti kubilang, I’m dying, saya
sekarat dan saya tahu, waktu saya tidak banyak “ Dion berbisik dengan suara
bergetar.
Marinka tidak membiarkannya bicara
lagi. Dia hanya membelai kepala Dion dan menciuminya tanpa henti. Dan Dion
membalasnya. Entah berapa lama mereka melakukannya sampai akhirnya keduanya terlelap.
Tiba-tiba saja Marinka membuka
mata, bingung menyadari dimana dia berada, karena sekelilingnya bukanlah
kamarnya. Ketika kesadarannya perlahan muncul, dia baru ingat bahwa dia lupa
memberitahu Claris adiknya kalau dia tidak pulang. Pasti adiknya menghubunginya
semalam. Cepat dia bangun, menyibak selimut dan menyadari bahwa dia masih
lengkap memakai pakaiannya yang semalam. Lalu bingung, dia sendirian. Dimana
Dion?
“ Dion? “ Panggilnya, sambil keluar
kamar. Sinar mentari pagi mengintip dari tirai diruang tamu, tapi tak ada
siapa-siapa disitu. Marinka kebingungan dan mencari kearah pintu yang terbuka
satunya, ternyata pantry dan Dion ada disitu, duduk sambil termenung memandang
keluar jendela.
“ Inka kok sudah bangun? Masih kepagian
ini, “ sapa Dion ketika menyadari kehadiran Marinka.
“ Kamu kenapa sudah bangun jam
segini? “ Marinka mendekat dan memeluk Dion dari belakang.
Dion berbalik dan menciumnya. “
Saya selalu bangun jam segini, sayang “
“ Jam berapa pesawatmu ke
Singapore? “ Tanya Marinka.
“ Saya cancel,” sahut Dion tenang.
Marinka terbelalak. “ Jangan
bercanda deh “
Dion tertawa kecil. Tanpa berkata
apa-apa, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebentuk cincin. Itu
cincin pemberiannya untuk Marinka dulu dan dikembalikan saat Marinka memutuskan
untuk pergi darinya. Dia meraih tangan kanan Marinka dan memasang cincin itu
dijari manisnya. Marinka hanya terdiam sambil memandanginya. Tak mampu
berkata-kata.
“ Will you marry me, Marinka? “
Tanya Dion dengan nada serius sambil menatap Marinka.
“ Yes,” sahut Marinka cepat. Entah
apa yang membuatnya berkata tanpa berpikir lagi. “ Tapi kamu harus melanjutkan
pengobatanmu dan harus sembuh “
Dion tertawa kecil sambil
menggelengkan kepalanya. “ Bukan saya yang berhak menentukan apakah saya bisa
sembuh atau tidak, tapi DIA “, tangannya menunjuk keatas.
“ Lalu? Maksud kamu? “ Marinka tak
mengerti.
“ Kita menikah, lalu keliling dunia
berdua. Kalaupun saya tidak pernah sembuh, setidaknya saya bersamamu sampai
akhir hidupku, “ kata Dion mantap. “ Saya capek terus-terusan dirumah sakit
dengan segala suntikan, infus, obat yang nggak berhenti. Saya capek “ Suaranya
berubah memelas.
Marinka tidak tega mendengarnya.
Tapi hati kecilnya tahu, bukan karena kasihan dia memutuskan bersama Dion, tapi
rasa cintanya yang besar yang membuatnya begitu.
“ Orangtuamu? “ Tanya Marinka
pelan.
“ Kita menikah minggu depan, “ ujar
Dion antusia seakan tak mendengar pertanyaan Marinka. “ Sayang kamu berhenti kerja
dan kita langsung keliling dunia.
“ Tunggu….tunggu….ini hidupku lho,”
Marinka tertawa kecil. “ Saya juga masih punya Claris walaupun dia sudah
bekerja sambil kuliah “
“ Exactly! Hidupmu…..bersamaku,”
Dion berusaha meyakinkan. “ Saya tanggungjawab seluruh kehidupanmu, juga
Claris. Please….jangan ditolak. Saya tahu selama ini kamu mandiri dan berhasil
membangun hidupmu sendiri. Tapi untuk kali ini, hiduplah bersamaku. Saya
membutuhkanmu “ Suara Dion bergetar.
“ Minggu depan, Dion? “ Marinka
menghela nafas panjang.
“ Kamu percaya padaku, sayang? Karena
kalau kamu tidak percaya, maka semua ini tidak ada artinya, “ ujar Dion sambil
memegang kedua pipi Marinka dengan kedua tangannya, lalu mencium lembut
bibirnya.
Marinka memejamkan matanya. Berkata
dalam hati, memanggil nama Tuhan, meminta petunjuk. Dan ketika membuka matanya,
dia melihat mata Dion yang bersinar penuh harap. Sinar mata yang semula nyaris
hilang dari situ. Laki-laki itu seperti menemukan kekuatannya kembali.
“ Saya percaya sama Tuhan,” ucap
Marinka pelan. “ Dan saya percaya kalau memang ini jalanNya, semua akan
dimudahkan.
“ Yess! “ Dion berteriak kecil.
Wajahnya yang kemarin pucat, kini mulai kemerahan. “ I love you, Inka…..”
“ I love you too,” Marinka
tersenyum.
Setelah itu dia tak bisa
menghentikan apa yang dilakukan Dion. Dengan semangat dia membuka laptopnya,
telepon sana-sini, entah pada siapa dia berbicara. Dibiarkannya saja semua itu.
Marinka hanya menghubungi Claris mengabari kalau dia baik-baik saja dan membuat
secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
Seharian dia berada di apartemen
itu. Dion memesan makan siang entah dari mana. Begitu makanan datang, tidak
lama kemudian datang juga dua orang perempuan dan satu laki-laki, ternyata dari
wedding organizer. Dion mengajaknya memilih gaun pengantin, jas untuknya,
sampai kue pengantin dan hidangan pesta. Marinka menurutinya tanpa banyak
protes. Dia tak menolak ketika Dion ingin pemberkatan nikah sekaligus pesta
nikahnya diadakan diapartemennya saja tanpa mengundang banyak orang, hanya
kerabat dan teman-temannya.
Ternyata segala sesuatunya berjalan
tanpa ada kendala berarti. Orangtua Dion menerima Marinka tanpa banyak bicara,
begitu juga kedua kakaknya. Sepertinya mereka lebih takut kehilangan Dion, jika
tak menyetujui kemauannya. Sahabat-sahabat Marinka juga menerima hal tersebut
tanpa banyak bertanya. Mungkin karena mereka melihat Marinka yang begitu tenang
menghadapi semua itu. Untuk Claris yang tentu saja ikut bahagia, Dion membelikannya
satu unit two bed rooms apartemen digedung yang sama, hanya beda lantai. Marinka mengajukan
resign dadakan yang tentu saja semula ditolak atasannya, tapi akhirnya
disetujui juga. Hanya dalam hitungan hari, semua keperluan terpenuhi.
Dan
hari Minggu itu diruang tamu apartemen yang sudah dihiasi bunga-bunga cantik,
tepat jam 10 pagi, dengan bergaun putih berpotongan sederhana, Marinka terlihat
sangat cantik. Berdampingan dengan Dion yang mengenakan jas berwarna abu-abu
tua, keduanya mengucapkan janji pernikahan dan menerima pemberkatan nikah dari
seorang pendeta. Setelah itu acara makan-makan yang diadakan disitu juga.
Beberapa pelayan berkeliling membawa canapé dan minuman. Pada beberapa sudut
ada beberapa chafing dish berisi hidangan ala barat seperti spaghetti, macaroni schotel
dan hidangan jepang seperti sushi-sashimi dan tempura.
Dion
terlihat sangat bahagia. Sepanjang acara dia sibuk menyapa satu persatu yang
hadir disitu bersama Marinka yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya.
Sesekali, dia menarik istrinya dengan lembut dan mencium keningnya, membuat
Marinka tersipu malu. Disalah satu sudut, tampak kedua orangtua Dion hanya
memperhatikan dalam diam. Sesekali mamanya mengusap sudut matanya. Namun
keduanya terlihat ikut larut dalam kebahagiaan bungsu putra satu-satunya dalam
keluarga. Kedua kakak Dion bersama pasangan masing-masing juga terlihat
mengobrol dengan kerabat mereka. Setiap individu yang hadir dipesta itu, tahu
keadaan Dion dan tentu saja ikut bahagia dengan perkembangan terbaru ini.
Sahabat-sahabat
Marinka, berdiri berkumpul bersama disalah satu sudut. Dion dan Marinka
mendekati kumpulan itu. Yang laki-laki segera menyambut dengan jabatan tangan,
pelukan dan tepukan dibahu. Yang perempuan, mengelilingi Marinka, sibuk
berpelukan dan cium pipi.
“ I’m
happy for you kakak,” bisik Stephani dengan mata berkaca-kaca.
“ Saya
selalu berdoa untuk kalian berdua,” tambah Soraya.
“
Terima kasih,” ucap Marinka terharu. Ketiganya berpelukan.
Tiba-tiba
tangan Dion menarik lengan Soraya dan memeluknya. “ Terima kasih sudah
mempercayai saya, “ katanya.
Soraya
membalas pelukannya dan mencium kedua pipi Dion. “ Saya yakin kamu akan
membahagiakan sahabat saya, karena saya melihat kalian saling mencintai “
Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Marinka
melihat hal itu dengan rasa haru memenuhi perasaannya. Siapa yang menyangka,
ketika sahabat-sahabatnya mulai menemukan pasangan hatinya masing-masing,
justru dia yang lebih dulu menikah.
Malam nanti, dia dan Dion akan
memulai perjalanan mereka mengunjungi berbagai daerah sambil menunggu visa
Schengen mereka selesai, lalu akan mulai dengan keliling negara-negara di Eropa,
entah untuk berapa lama. Tentu dengan perjanjian, mereka tetap akan datang
kepesta pernikahan Stephani dan Zoland.
Dion kembali kesisinya, memeluk
pinggangnya dengan erat dan mencium keningnya dengan mesra. Marinka menatap
kekasih hatinya dengan penuh cinta, suaminya.
“ I love you my wife,” bisik Dion
ditelinganya.
“ I love you my hubby,” balasnya
tersenyum.
Dengan apapun kondisinya, hanya
cinta yang bisa membuat segalanya menjadi indah. Hanya cinta yang bisa membuat
mereka mampu menghadapi apapun yang akan terjadi. Hanya cinta yang bisa …….
***
Timika, 16 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar