Selasa, 28 Februari 2017

EPILOG

              Enam bulan lamanya Marinka dan Dion berkeliling dunia, singgah ditempat-tempat yang belum pernah mereka datangi sebelumnya. Cerita perjalanan mereka selalu update untuk sahabat-sahabat tercinta. Lalu mereka kembali untuk menghandiri pernikahan Stefani dan Zoland. Marinka baru saja mengetahui dirinya sedang hamil, sedangkan Belinda sudah hamil 5 bulan.
            Lima bulan setelah pernikahan Stefani dan Zoland, Soraya dan Yudha menyusul. Saat itu Belinda sudah membawa bayi laki-lakinya yang diberi nama Leo. Marinka yang hamil, datang bersama Dion yang walaupun masih tampak pucat, namun terlihat sangat bahagia karena akan menjadi ayah.
            Ketika akhirnya Marinka melahirkan seorang bayi laki-laki, tentu saja pasangan Marinka-Dion terlihat sangat bahagia. Setahun kemudian, Dion meninggal dengan tenang. Sejauh itu perjalanan hidupnya sudah terasa lengkap dan dia meninggal tanpa beban, wajahnya seperti sedang tidur saja.
            Suatu hari yang redup oleh sedikit mendung yang menggantung, ketika sahabat, Marinka-Soraya-Stefani, berada dipekuburan yang tenang dan asri. Marinka menggandeng putranya, Junior. Sementara Soraya dan Stefani saling bergandengan tangan memandangi sosok kecil Junior yang sangat mirip ayahnya itu, sibuk menabur bunga dipusara.
                                                                   ***


Timika, 1 Maret 2017
            

Rabu, 15 Februari 2017

Hanya Cinta Yang Bisa (bagian 2)



HANYA CINTA YANG BISA
(bagian 2)

                Jauh dilubuk hati seorang Marinka, tak dapat dipungkiri bahwa dia masih menyimpan cintanya untuk seorang Dion. Dia tak pernah bisa benar-benar melupakan laki-laki itu. Bahkan ketika mengingat rasa sakit hati menerima perlakuan kedua kakak perempuan serta mamanya Dion, yang terang-terangan menentang hubungan mereka. Alasannya klasik, perbedaan status sosial mereka. Dion memang anak seorang pengusaha terkenal, sementara Marinka dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan membiayai kuliahnya sendiri dan sekolah Claris adiknya, dengan bekerja apa saja asal menghasilkan uang yang halal. Keluarga Dion menganggap Marinka hanya memanfaatkan kekayaan keluarga mereka. Belum lagi ada Pramita, mantan kekasih Dion yang menganggap Marinka sebagai penyebab putusnya hubungan mereka. Kisah mereka begitu rumit sampai akhirnya Marinka menyerah dan memutuskan berhenti kuliah, pindah kontrakan dan memutus segala sesuatu yang bisa membuatnya terhubung lagi dengan Dion.
                Itu terjadi sebelum Marinka tertemu dan akhirnya bersahabat dengan Soraya maupun Stephani, apalagi Belinda yang baru belakangan bergabung. Makanya baik Soraya maupun Stephani tak pernah tahu kisah itu. Mereka tak pernah tahu Marinka pernah kuliah selain di Universitas Terbuka, seperti yang dia bilang ketika pertama kali pertemanan mereka. Marinka tak ingin mengingat cerita lama dan berusaha menguburnya dalam-dalam.
                Seketika kumpulan Rayan-Belinda, Yudha-Soraya dan Zoland-Stephani di restaurant itu menjadi sunyi. Ketika dengan Dion dan Marinka bergantian bercerita tentang kisah masa lalu mereka. Tak ada yang ingin menjadikan kisah yang begitu membekas dihati sepasang manusia itu, menjadi bahan guyonan. Semuanya menyadari, baik dari nada suara Delon maupun Marinka, keduanya sama-sama menyimpan rasa masing-masing dalam diam.
                “ Sejak lahir, saya punya kelainan darah yang langka, karena keadaan genetik,” ujar Dion kemudian, tenang. Marinka tersenyum memandanginya. Sementara yang lain menyimak dengan rasa ingin tahu.
                “ I’m dying actually,” sambung Dion, masih setenang tadi. “ Inka tahu dari dulu tapi keluargaku sendiri seperti tak mau menerima. Mereka sibuk membawaku ke RS mana saja diluar negri. Padahal saya juga heran masih hidup sampai saat ini. Mungkin karena saya masih mencari kamu, Inka “
                Marinka masih tersenyum menatapnya, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Spontan Stephani yang duduk disampingnya, memeluk dan mengelus pundak Marinka dengan raut wajah sedih.
                “ Hey, saya merusak acara bahagia kalian,” Dion mencoba tertawa, menatapi satu persatu wajah-wajah yang menatapnya dengan empati. “ Come on, I’m still alive right now…”
“ Aku nggak tahu itu,” kata Rayan. “ Dulu kamu kadang nggak datang kekantor, kupikir sales call kemana. Walaupun heran juga, bisa lebih dari seminggu lamanya “
Dion tertawa kecil. “ Itu kan perusahaan milik om-ku, Rayan.  Tapi nggak ada yang tahu “
“ Ya akhirnya kamu resign karena bilangnya mau bikin usaha sendiri dan setahuku perusahaan advertising yang kamu buat itu memang ada dan maju, sampai sekarang kan? “ Ucap Rayan lagi.
“ Salah satu perusahaan milik papaku, bro “ Dion tersenyum lebar.
“ Memangnya tidak ada yang bisa mengobati penyakitmu? “ Tanya Soraya dengan raut wajah prihatin. “ Dinegara secanggih Amerika gitu? “
Dion menanggapinya dengan tetap tersenyum lebar. “ Pada akhirnya mereka hanya memutuskan bahwa penyakitku sebenarnya adalah leukemia, harus cangkok sumsum belakang, harus kemoterapi, semua sudah saya lakukan “ Dion mengatakan hal itu dengan ringan, sambil mengusap kepala plontosnya. “ Oh ya…..besok saya harus berangkat lagi untuk berobat “
“ Oh,” Marinka berucap singkat.
Dion memandang berkeliling, kepada semua yang ada disitu dan berkata, “ Karena kalian adalah sahabat-sahabat Inka, jadi saya minta ijin untuk membawa Inka bersama saya ke apartemen saya “
Mendadak hening. Muncul wajah-wajah terkejut yang saling menatap satu sama lain. Tak terkecuali Marinka.
“ Yah…kurasa nggak apa-apa, tapi terserah Inka mau atau enggak,” akhirnya Belinda buka suara.
“ Yup, terserah Marinka,” Rayan mendukung istrinya.
Zoland dan Stephani hanya saling bertukar pandang.
“ Saya nggak setuju,” tiba-tiba Soraya angkat bicara dengan nada protes. Yudha disampingnya, menoleh, terlihat kaget. Yang lain mau tak mau melihat kearahnya.
“ Kenapa? “ Tanya Dion tenang.
Soraya menarik nafas panjang sebelum bicara, “ Bagaimanapun Inka pernah patah hati karenamu. Lalu sekarang kamu datang entah dari mana dan mengajaknya bersamamu. Yakin kamu tidak akan membuatnya patah hati dua kali? Yakin ? “ . Soraya menatap Dion, kemudian beralih pada Marinka.
“ Aya nggak boleh ngomong gitu,” Stephani yang lembut hati, berkata setengah berbisik, menatap sahabatnya itu.
“ Kenapa? Saya hanya memikirkan perasaan Inka. Andai saya diposisi dia, hal seperti ini pasti sangat menguras perasaan,” ujar Soraya lugas. Diantara mereka, memang dia yang paling tegas bicara.
“ Yah, Aya benar kok,” Yudha bersuara, menengahi. “ Tapi bagaimanapun terserah Inka. Kita semua sudah dewasa disini dan bisa bertanggungjawab dengan segala yang kita perbuat “
“ Setuju,” timpal Zoland.
Sekarang semua mata tertuju pada Marinka. Termasuk juga Dion. Wajahnya terlihat sangat tenang. Dia sepertinya tidak khawatir sedikitpun, apapun keputusan yang diambil oleh gadis yang sangat dikasihinya itu.
Sekarang Marinka  yang terdiam. Menunduk sebentar lalu mengangkat kepalanya. Menatap wajah sahabat-sahabatnya. Semua tampak memasang wajah bertanya. Kecuali Soraya yang memberinya gelengan kepala kecil, menatapnya dengan tatapan memohon.
“ Saya ikut Dion,” putus Marinka sambil menarik nafas panjang. Menatap Dion sambil tersenyum
Senyum mengembang dibibir pucat laki-laki yang pernah sangat dicintainya itu. Matanya tak berkedip memandang Marinka.
“ Kamu yakin, Inka? “ Tanya Soraya seakan nggak puas dengan keputusan sahabatnya. Sementara Yudha langsung melingkarkan tangannya kebahu Soraya, seperti menenangkan.
“ Saya mencintai Dion, dari dulu bahkan sampai saat ini,” jawab Marinka, tersenyum kecil. “ Karena cinta bukan cuma ngomong, iya saya yakin saya ingin bersama dia “
“ Oke,” kata Soraya akhirnya.
“ Shall we? “ Dion berdiri dan mengulurkan tangannya pada Marinka. Gadis itu berdiri dan berjalan mendekat.
“ Harus sekarang ya? “ Soraya protes. Kali ini langsung dirangkul Yudha yang tertawa kecil.
Semua yang ada disitu tertawa melihat adegan itu.
“ Pesawat saya berangkat besok pagi ke Singapore,” kata Dion. Dia beranjak dari tempatnya dan sekarang berdiri disamping Marinka, melingkarkan tangannya dipinggang gadis itu.
“ Tapi Inka nggak ikut ke Singapore kan? “ Tanya Soraya.
“ Oh enggak lah. Dia kan harus kerja Senin lusa. Kecuali kalau dia memang mau ikut,” jawab Dion.
            “ Terus? Orangtua kamu, kakak-kakakmu yang katanya nggak suka sama Inka, gimana? “ Soraya bertanya lagi.
“ Sudah setahun saya tinggal sendiri di apartemen. Saya bilang pada keluarga saya, saya nggak mau terus menerus dianggap nggak berdaya jadi harus selalu diperhatikan,” sahut Dion tertawa kecil.
“ Wooo….jadi kalian akan berduaan saja? Hmmm….” Soraya mengedipkan sebelah matanya.
“ Aya….” Yudha mencubit gemas pipi kekasihnya. Yang lain tertawa.
“ Jangan khawatir, saya nggak bermaksud buruk padanya,” ujar Dion sambil menarik Marinka kedalam pelukannya. Kemudia dia mencium kening gadis.
“ Oke,” Soraya mengangkat kedua tangannya. “ Apapun itu “
“ Titip Inka, Dion “ Pesan Belinda.
“ Take care ya, “ tambah Stephani.
Keduanya pamit sambil tangan Dion terus memeluk pinggang Marinka. Meninggalkan sekumpulan yang sekarang entah ngobrolin apa. Mungkin juga tentang mereka, salah satu topiknya. Mereka menuju pintu utama Mall, karena ternyata Dion membawa supir pribadinya. Laki-laki itupun menghubungi supirnya agar menjemput mereka di Lobby.
Sebenarnya Marinka tidak terlalu yakin dengan keputusan mengikuti Dion dan meninggalkan acara bersama sahabat-sahabatnya begitu saja. Tapi melihat raut wajah Dion yang seperti menyimpan sesuatu dan fisiknya yang terlihat lemah walaupun dia terlihat berusaha tegar, membuat gadis itu ingin berada disampingnya dan setidaknya memberikan support-nya. Hal lain yang mendorongnya, tentu saja cinta.
Sebuah Kijang Innova berwarna metalik, berhenti dihadapan keduanya. Supirnya turun dan membukakan pintu.
“ Yuk Inka “ Dion mempersilakannya naik, baru kemudian dia naik ke mobil.
“ Langsung pulang ya pak Arya,” kata Dion pada supirnya. Tangannya menggenggam tangan Marinka. Mereka tidak bisa duduk berdekatan karena kursi mobilnya memang satu-satu.
“ You never know that I miss you so much,” kata Dion sambil menatap Marinka mesra. “ Saya selalu berharap bisa bertemu kamu lagi, walaupun mungkin untuk terakhir kali “
“ Nggak boleh ngomong gitu,” geleng Marinka membalas tatapannya. “ Sekarang saya bersamamu dan saya nggak keberatan menemanimu “
“ I just wanna hold you tight and fall a sleep beside you by my side “, ucap Dion. Dia sengaja tak berbahasa Indonesia mungkin karena tak ingin supirnya mendengar percakapan mereka.
“ Saya juga,” senyum Marinka.
Tak berapa lama, mobil itu memasuki halaman sebuah gedung apartemen mewah. Ternyata Dion tinggal tak jauh dari situ. Padahal selama ini Marinka juga sering menyambangi Toko Bunga milik Stephani yang letaknya dikumpulan ruko, persis berseberangan dengan Apartemen itu. Takdir memang baru mempertemukan mereka lagi sekarang.
Mobil berhenti didepan lobby besar dengan design modern. Dion turun lebih dahulu dan mengulurkan tangannya membantu Marinka turun. Hal yang tak perlu dilakukan sebenarnya, tapi gadis itu senang dengan perlakuan manis yang diterimanya itu. Pintu lobby dibukakan seorang petugas yang menyapa dengan ramah. Keduanya memasuki lobby dan langsung menuju lift.
Berdua saja didalam lift, Dion menarik Marinka dalam pelukannya dan mencium keningnya. Marinka tertawa canggung. Dia takut jika lift berhenti dan terbuka, tiba-tiba aka nada orang lain yang melihat adegan itu. Tapi ternyata itu hanya kekhawatirannya saja, karena begitu pintu lift terbuka, langsung berada diruang tamu apartemen Dion. Lift-nya memang khusus menuju kamar yang dimaksud tanpa melalui koridor lagi.
“ Saya capek, Inka “ kata Dion sambil menariknya masuk kekamar tidur. Tanpa bisa menolak, Marinka mengikuti. “ Jangan khawatir, saya tidak akan melakukan apa yang pernah kita lakukan dulu “. Dion tertawa kecil. Membuka selimut tempat tidurnya dan berbaring disitu.
Marinka berdiri disisi tempat tidur. Membuka sepatu dan menaruhnya dipojokan dengan tas tangannya. Masih mengenakan blus dan celana panjangnya, dia naik ketempat tidur dan masuk dalam pelukan Dion. Untuk beberapa saat, mereka hanya berpelukan tanpa bicara. Sampai Marinka menengadah dan mencium lembut bibir Dion.
“ Seperti kubilang, I’m dying, saya sekarat dan saya tahu, waktu saya tidak banyak “ Dion berbisik dengan suara bergetar.
Marinka tidak membiarkannya bicara lagi. Dia hanya membelai kepala Dion dan menciuminya tanpa henti. Dan Dion membalasnya. Entah berapa lama mereka melakukannya sampai akhirnya keduanya terlelap.
Tiba-tiba saja Marinka membuka mata, bingung menyadari dimana dia berada, karena sekelilingnya bukanlah kamarnya. Ketika kesadarannya perlahan muncul, dia baru ingat bahwa dia lupa memberitahu Claris adiknya kalau dia tidak pulang. Pasti adiknya menghubunginya semalam. Cepat dia bangun, menyibak selimut dan menyadari bahwa dia masih lengkap memakai pakaiannya yang semalam. Lalu bingung, dia sendirian. Dimana Dion?
“ Dion? “ Panggilnya, sambil keluar kamar. Sinar mentari pagi mengintip dari tirai diruang tamu, tapi tak ada siapa-siapa disitu. Marinka kebingungan dan mencari kearah pintu yang terbuka satunya, ternyata pantry dan Dion ada disitu, duduk sambil termenung memandang keluar jendela.
“ Inka kok sudah bangun? Masih kepagian ini, “ sapa Dion ketika menyadari kehadiran Marinka.
“ Kamu kenapa sudah bangun jam segini? “ Marinka mendekat dan memeluk Dion dari belakang.
Dion berbalik dan menciumnya. “ Saya selalu bangun jam segini, sayang “
“ Jam berapa pesawatmu ke Singapore? “ Tanya Marinka.
“ Saya cancel,” sahut Dion tenang.
Marinka terbelalak. “ Jangan bercanda deh “
Dion tertawa kecil. Tanpa berkata apa-apa, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebentuk cincin. Itu cincin pemberiannya untuk Marinka dulu dan dikembalikan saat Marinka memutuskan untuk pergi darinya. Dia meraih tangan kanan Marinka dan memasang cincin itu dijari manisnya. Marinka hanya terdiam sambil memandanginya. Tak mampu berkata-kata.
“ Will you marry me, Marinka? “ Tanya Dion dengan nada serius sambil menatap Marinka.
“ Yes,” sahut Marinka cepat. Entah apa yang membuatnya berkata tanpa berpikir lagi. “ Tapi kamu harus melanjutkan pengobatanmu dan harus sembuh “
Dion tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “ Bukan saya yang berhak menentukan apakah saya bisa sembuh atau tidak, tapi DIA “, tangannya menunjuk keatas.
“ Lalu? Maksud kamu? “ Marinka tak mengerti.
“ Kita menikah, lalu keliling dunia berdua. Kalaupun saya tidak pernah sembuh, setidaknya saya bersamamu sampai akhir hidupku, “ kata Dion mantap. “ Saya capek terus-terusan dirumah sakit dengan segala suntikan, infus, obat yang nggak berhenti. Saya capek “ Suaranya berubah memelas.
Marinka tidak tega mendengarnya. Tapi hati kecilnya tahu, bukan karena kasihan dia memutuskan bersama Dion, tapi rasa cintanya yang besar yang membuatnya begitu.
“ Orangtuamu? “ Tanya Marinka pelan.
“ Kita menikah minggu depan, “ ujar Dion antusia seakan tak mendengar pertanyaan Marinka. “ Sayang kamu berhenti kerja dan kita langsung keliling dunia.
            “ Tunggu….tunggu….ini hidupku lho,” Marinka tertawa kecil. “ Saya juga masih punya Claris walaupun dia sudah bekerja sambil kuliah “
“ Exactly! Hidupmu…..bersamaku,” Dion berusaha meyakinkan. “ Saya tanggungjawab seluruh kehidupanmu, juga Claris. Please….jangan ditolak. Saya tahu selama ini kamu mandiri dan berhasil membangun hidupmu sendiri. Tapi untuk kali ini, hiduplah bersamaku. Saya membutuhkanmu “ Suara Dion bergetar.
“ Minggu depan, Dion? “ Marinka menghela nafas panjang.
“ Kamu percaya padaku, sayang? Karena kalau kamu tidak percaya, maka semua ini tidak ada artinya, “ ujar Dion sambil memegang kedua pipi Marinka dengan kedua tangannya, lalu mencium lembut bibirnya.
Marinka memejamkan matanya. Berkata dalam hati, memanggil nama Tuhan, meminta petunjuk. Dan ketika membuka matanya, dia melihat mata Dion yang bersinar penuh harap. Sinar mata yang semula nyaris hilang dari situ. Laki-laki itu seperti menemukan kekuatannya kembali.
“ Saya percaya sama Tuhan,” ucap Marinka pelan. “ Dan saya percaya kalau memang ini jalanNya, semua akan dimudahkan.
“ Yess! “ Dion berteriak kecil. Wajahnya yang kemarin pucat, kini mulai kemerahan. “ I love you, Inka…..”
“ I love you too,” Marinka tersenyum.
Setelah itu dia tak bisa menghentikan apa yang dilakukan Dion. Dengan semangat dia membuka laptopnya, telepon sana-sini, entah pada siapa dia berbicara. Dibiarkannya saja semua itu. Marinka hanya menghubungi Claris mengabari kalau dia baik-baik saja dan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
Seharian dia berada di apartemen itu. Dion memesan makan siang entah dari mana. Begitu makanan datang, tidak lama kemudian datang juga dua orang perempuan dan satu laki-laki, ternyata dari wedding organizer. Dion mengajaknya memilih gaun pengantin, jas untuknya, sampai kue pengantin dan hidangan pesta. Marinka menurutinya tanpa banyak protes. Dia tak menolak ketika Dion ingin pemberkatan nikah sekaligus pesta nikahnya diadakan diapartemennya saja tanpa mengundang banyak orang, hanya kerabat dan teman-temannya.
Ternyata segala sesuatunya berjalan tanpa ada kendala berarti. Orangtua Dion menerima Marinka tanpa banyak bicara, begitu juga kedua kakaknya. Sepertinya mereka lebih takut kehilangan Dion, jika tak menyetujui kemauannya. Sahabat-sahabat Marinka juga menerima hal tersebut tanpa banyak bertanya. Mungkin karena mereka melihat Marinka yang begitu tenang menghadapi semua itu. Untuk Claris yang tentu saja ikut bahagia, Dion membelikannya satu unit two bed rooms apartemen digedung yang sama, hanya beda lantai. Marinka mengajukan resign dadakan yang tentu saja semula ditolak atasannya, tapi akhirnya disetujui juga. Hanya dalam hitungan hari, semua keperluan terpenuhi.
                Dan hari Minggu itu diruang tamu apartemen yang sudah dihiasi bunga-bunga cantik, tepat jam 10 pagi, dengan bergaun putih berpotongan sederhana, Marinka terlihat sangat cantik. Berdampingan dengan Dion yang mengenakan jas berwarna abu-abu tua, keduanya mengucapkan janji pernikahan dan menerima pemberkatan nikah dari seorang pendeta. Setelah itu acara makan-makan yang diadakan disitu juga. Beberapa pelayan berkeliling membawa canapé dan minuman. Pada beberapa sudut ada beberapa chafing dish berisi hidangan ala barat seperti spaghetti, macaroni schotel dan hidangan jepang seperti sushi-sashimi dan tempura.
                Dion terlihat sangat bahagia. Sepanjang acara dia sibuk menyapa satu persatu yang hadir disitu bersama Marinka yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya. Sesekali, dia menarik istrinya dengan lembut dan mencium keningnya, membuat Marinka tersipu malu. Disalah satu sudut, tampak kedua orangtua Dion hanya memperhatikan dalam diam. Sesekali mamanya mengusap sudut matanya. Namun keduanya terlihat ikut larut dalam kebahagiaan bungsu putra satu-satunya dalam keluarga. Kedua kakak Dion bersama pasangan masing-masing juga terlihat mengobrol dengan kerabat mereka. Setiap individu yang hadir dipesta itu, tahu keadaan Dion dan tentu saja ikut bahagia dengan perkembangan terbaru ini.
                Sahabat-sahabat Marinka, berdiri berkumpul bersama disalah satu sudut. Dion dan Marinka mendekati kumpulan itu. Yang laki-laki segera menyambut dengan jabatan tangan, pelukan dan tepukan dibahu. Yang perempuan, mengelilingi Marinka, sibuk berpelukan dan cium pipi.
                “ I’m happy for you kakak,” bisik Stephani dengan mata berkaca-kaca.
                “ Saya selalu berdoa untuk kalian berdua,” tambah Soraya.
                “ Terima kasih,” ucap Marinka terharu. Ketiganya berpelukan.
                Tiba-tiba tangan Dion menarik lengan Soraya dan memeluknya. “ Terima kasih sudah mempercayai saya, “ katanya.
                Soraya membalas pelukannya dan mencium kedua pipi Dion. “ Saya yakin kamu akan membahagiakan sahabat saya, karena saya melihat kalian saling mencintai “ Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
                Marinka melihat hal itu dengan rasa haru memenuhi perasaannya. Siapa yang menyangka, ketika sahabat-sahabatnya mulai menemukan pasangan hatinya masing-masing, justru dia yang lebih dulu menikah.
Malam nanti, dia dan Dion akan memulai perjalanan mereka mengunjungi berbagai daerah sambil menunggu visa Schengen mereka selesai, lalu akan mulai dengan keliling negara-negara di Eropa, entah untuk berapa lama. Tentu dengan perjanjian, mereka tetap akan datang kepesta pernikahan Stephani dan Zoland.
Dion kembali kesisinya, memeluk pinggangnya dengan erat dan mencium keningnya dengan mesra. Marinka menatap kekasih hatinya dengan penuh cinta, suaminya.
“ I love you my wife,” bisik Dion ditelinganya.
“ I love you my hubby,” balasnya tersenyum.
Dengan apapun kondisinya, hanya cinta yang bisa membuat segalanya menjadi indah. Hanya cinta yang bisa membuat mereka mampu menghadapi apapun yang akan terjadi. Hanya cinta yang bisa …….

                                                                                      ***

Timika, 16 Februari 2017

Hanya Cinta Yang Bisa (bagian 1)



HANYA CINTA YANG BISA
(bagian 1)

                Seperti kesehariannya, Stephani selalu bangun pagi-pagi sekali untuk kemudian bersiap menuju Toko Bunga miliknya. Tidak ada hari libur untuknya dan dia merasa tak memerlukan hari libur khusus. Baginya kerja adalah kebutuhan hidup. Jika ingin bersantai, cukup bersama kedua sahabatnya, Soraya dan Marinka.
                Hari ini, sama seperti hari-hari kemarin, setelah merapikan tempat tidurnya, Stephani keluar kamar dan bersiap membawa Kimoy, anjing kesayangannya jalan-jalan keliling kompleks. Biasanya Kimoy akan menunggunya dekat pintu kamar. Agak heran, dia tak melihat Kimoy ditempat biasa, bahkan tidak ada diruang tengah. Akhirnya dia memutuskan untuk langsung keruang tamu.
                Stephani tertegun, mendapati Kimoy tergolek dilantai dengan wajah ceria dan ekornya bergoyang-goyang, karena ada seseorang yang mengelitik perutnya. Stephanie hanya bisa memandangi punggung laki-laki itu dengan perasaan tak karuan. Sejurus kemudian Kimoy yang menyadari kehadirannya, bangun dan langsung melompat-lompat mendekat. Stephani menyambutnya dengan matanya tetap menatap lekat sosok yang kini berbalik dan tersenyum padanya.
                “ Selamat pagi, Step “ Sapanya dengan senyum yang langsung menembus jantung hati gadis itu.
                “ Mau apa kemari? “ Tanya Stephani, berusaha datar. Dadanya berdebar kencang.
                “ Eh siapa yang ajari anak mama nggak sopan begitu? “ Tiba-tiba saja, entah darimana, mama sudah ada didekatnya. “ Minum teh-nya dulu nak Zoland “ Suara mamanya begitu ramah, sambil menaruh secangkir teh di meja tamu. Bahkan bukan bibik yang membuatkan minum. Stephani jadi serba salah.
                “ Maaf ya nggak kabari dulu,” ujar laki-laki itu tenang, menatap Stephani dalam-dalam.
                “ Duduk nak Zoland,” mama mempersilahkan. “ Stephani temani ya….mama yang bawa Kimoy jalan-jalan “
                “ Kalau kami saja yang bawa Kimoy jalan-jalan, gimana tante? “ Tanya Zoland sopan.
                “ Oh boleh juga “ Mama tertawa kecil.
                Stephanie tidak bisa protes atau mengeluarkan pendapat lain. Tanpa bersuara, dia mengambil tali Kimoy dan membawanya keluar, diikuti Zoland.
                Menelusuri jalan di perumahan tempat tinggalnya, dengan Kimoy yang semangat menggoyangkan ekornya sepanjang jalan. Sementara disebelahnya, berjalan seorang yang selalu mengisi benaknya nyaris setiap saat. Yang selalu dirindukannya dalam diam, tanpa tahu kabar beritanya. Nyaris setahun sejak pertemuan mereka yang terakhir kali yang memporak-porandakan hatinya.
1
                “ I miss you, Step “ Suara Zoland memecah keheningan.
                “ Don’t say anything, “ Stephani menyahut dengan suara bergetar.
                “ I should “ Laki-laki itu meraih tangan Stephani, menahan langkahnya. Sementara Kimoy sibuk menyalak sambil melompat-lompat tak mau berhenti. Kerepotan Stephani menarik tali kekang Kimoy. Zoland akhirnya berjongkok dekat Kimoy dan membiarkan dirinya dihujani ciuman bertubi-tubi Labrador bertubuh jangkung itu.
                “ Saya harus ngomong sama tuanmu yang cantik ini. Kamu mendukung kan? “ Kata Zoland pada Kimoy yang seperti mengerti dan menjadi sedikit tenang. Mau tak mau Stephani tersenyum melihat kejadian itu. Kimoy tak sembarangan dekat dengan orang. Kalau tidak suka, dia tak mau dielus, pasti memberontak. Tapi sepertinya dia menyukai Zoland.
                “ I miss you, Stephani, I do “ Sambil tetap membelai Kimoy dan berjongkok, laki-laki itu menatap Stephani dengan matanya yang dalam. “ Tapi saya harus meyakinkan diri saya dulu, sebelum saya mengatakan ini padamu. Saya tidak mau kamu berpikir bahwa sangat mudah bagi saya untuk jatuh cinta dari satu hati ke hati lainnya “
                Stephani terdiam. “ Debbie? “ Gumamnya pelan.
                “ Terakhir saya bertemu dia adalah sehari setelah saya bersama kamu di café itu. Debbie bilang terus terang kalau dia bingung karena ada teman kuliahnya yang dekat dengannya, sementara kami belum putus,” jelas Zoland. Dia berdiri dan meraih tangan Stephani. Kimoy menggonggong sekali-dua sambil mengibaskan ekornya.
                “ Lalu? “ Tanya gadis itu.
                “ Kami bicara dari hati ke hati apakah hubungan kami layak diteruskan. Karena biar bagaimanapun, dua belah pihak keluarga kami sudah saling mengenal dan berharap banyak bahwa kami akan serius ke jenjang berikutnya,” kata Zoland tenang. “ Beberapa hari kami coba sama-sama lagi, tapi akhirnya kami tahu, hati kami sudah tidak sama-sama lagi “
                Stephani memandang wajah laki-laki dihadapannya dengan tatapan serba salah, entah harus merasa bagaimana. Harus bahagiakah? Harus legakah? Dia bingung.
                “ I love you, Step. Pada saat pertama saya melihatmu,” kata Zoland tenang. “ Maaf bila membuatmu menunggu. Maaf bila hari ini harus datang pagi-pagi karena saya harus ke Malang, ketemu papa-mama “
                Stephani mengernyitkan dahinya. “ Ada apa dengan papa-mamamu? “
                Zoland tertawa kecil. “ Mereka baik-baik saja. Saya yang minta ketemu mereka, supaya mereka datang kesini dan melamarmu “ Kali ini tanpa malu-malu, dia menarik Stephani dan meraih
2
pinggangnya. Tak menolak, gadis itu ikut tertawa, canggung. Sementara Kimoy melompat-lompat tak berhenti menyalak. Sepertinya Kimoy sedang memberikan tanda persetujuannya.
                “ Kamu bercanda kan? “ Tanya Stephani sambil melepaskan tangan Zoland dari pinggangnya, dengan perlahan.
                “ Saya menunggu hari ini tiba selama hamper satu tahun dan kamu bilang bercanda? “ Kata Zoland sambil mengacak-acak poni Stephani. “ Saya sudah bilang sama mamamu tadi dan beliau sepertinya tak keberatan “
                Kali ini Stephani yang tergelak. “ Jangan tanya mama, tanya papa kalau berani “
                “ Oh iya pasti. Tapi nggak sendirian dong, harus sama keluargaku,” sahut Zoland yakin.
                “ Curang, nggak berani sendirian,” ledek Stephani.
                “ Bukan curang, itu namanya  smart tactic dan menunjukkan keseriusanku,” ujar Zoland.
                Sejak detik itu, rasanya sekeliling keduanya menjadi lebih berwarna, bahkan sinar matahari pagi menjadikan hati keduanya menghangat. Terlebih bagi Stephani yang selama ini berusaha keras menyimpan semua rasanya, bahkan pada kedua sahabatnya. Dia tak berani membayangkan hal indah ini menjadi nyata, setelah sekian lama berusaha dan belum berhasil move on dari perasaannya pada laki-laki yang kini berjalan disisinya. Keduanya, bersama Kimoy, menyusuri jalan-jalan sepanjang kompleks perumahan. Sepertinya, dunia jadi milik mereka berdua.
*
                Dua minggu kemudian, Stephani mengundang sahabat-sahabatnya, Soraya dan Marinka, plus Yudha pacar Soraya, untuk bertemu di Sakura Corner, sebuah restaurant kecil yang baru saja buka disebuah Mall kecil didekat Toko Bunga milik Stephani. Sebelumnya, tentu saja sahabat-sahabatnya sudah langsung diberitahu kabar tentang Zoland yang tiba-tiba muncul jam 6 pagi dirumah Stephani.
                Soraya dan Marinka datang lebih dulu di Sakura Corner, menunggu Stephani. Sementara Yudha berjanji akan menyusul nanti.
                “ OMG !” Pekik Soraya ketika melihat Stephani datang, setengah berlari kecil, sambil memamerkan cincin dijari manisnya. “ No way ! “ Soraya masih histeris saat sahabatnya itu mendekat. Sementara Marinka tertawa kecil dan Stephani tersenyum malu-malu.
                “ Selamat ya sayang,” kata Marinka menyambut dalam Stephani pelukannya.
                “ Jadi adik kecil yang duluan nih? “ Soraya gentian memeluk sahabatnya itu.
               
3
“ Ya….begitulah kira-kira,” sahut Stephani masih malu-malu.
                Kemudian dia bercerita tentang Zoland yang ternyata benar-benar serius mengajak kedua orangtua beserta tetua-tetua dari keluarga besarnya datang melamar Stephani, tiga hari lalu. Dan ternyata sang mama sudah lebih dulu bicara pada papanya, sehingga acara yang semula dimaksudkan untuk silaturahmi pembuka sebelum acara lamaran yang sesungguhnya, akhirnya sekalian menjadi acara lamaran resmi karena Zoland juga sudah menyiapkan cincin dan mahar sesuai ketentuan keluarga besarnya. Sedangkan bagi keluarga Stephani yang moderat dan tak mempermasalahkan tetek bengek mahar dan sebagainya, cukuplah kedatangan keluarga besar Zoland itu menunjukkan keseriusan dan itikad baik mereka. Alhasil pembicaraan pun bergulir sampai menentukan tanggal pernikahan.
                “ I’m happy for you adik kecil, really happy for you,” ujar Marinka dengan mata berkaca-kaca.
                “ Maaf kakak-kakak, saya duluan,” ucap Stephani dengan nada bergetar. Jauh dilubuk hatinya, dia memikirkan kedua sahabatnya, terutama Marinka. Karena sampai saat ini, hanya dia yang masih belum punya pasangan, padahal dia yang tertua diantara mereka bertiga.
                “ Kenapa minta maaf sik? Jodoh itu Tuhan yang mengatur,” kata Soraya penuh senyum.
                “ Iya, Step…..dinikmati saja, this is your moment,” tambah Marinka dengan senyumnya.
                “ Halooooo semuaaaa…..” Tiba-tiba saja terdengar suara Belinda. Dia datang bersama Rayan sang suami dan sepupunya, Yudha. “ Sorry nimbrung nggak diundang, soalnya Yudha yang cerita “
                Keempat perempuan itu bertukar cium pipi dan saling peluk dengan hangat.
                “ Nggak apa-apa, Bee,” kata Stephani. “ Kami kira kalian masih honeymoon, jadi nggak diberitahu “
                “ Biar honeymoon juga masih bisa ngumpul kok,” kata Rayan tenang.
                Yudha dan Soraya langsung nempel, duduk berdekatan, layaknya pasangan yang baru jatuh cinta. Belinda dengan Rayan. Sementara Stephani bergayut manja memeluk pinggang Marinka.
                “ Jadi kapan, Step? “ Tanya Yudha.
                “ Tuh Yudha tanya sebelum kita yang tanya dia, kapan? “ Celetuk Belinda.
                Semuanya tertawa. Soraya memasang wajah serius sambil memandangi kekasihnya seolah bertanya “ Kapan? “
                Yudha membisikkan sesuatu ditelinga Soraya, kemudian mencium pipinya. Gadis itu tertawa kecil dengan pipi memerah.
                “ Hayooo….jangan main rahasia-rahasiaan berdua aja,” kata Belinda lagi.
4
Kembali yang lainnya tergelak.
“ Sudah, sekarang ngomongin Stephani dulu. Kita mah nanti juga ada saatnya,” ujar Soraya penuh senyum.
“ Ya deh, belain pacarnya,” kata Marinka tertawa kecil. “ Ayo adik kecil, kapan kita dikasih bahan seragamnya? “ Marinka membelai rambut Stephani dengan lembut.
“ Enam bulan lagi,” sahut Stephani malu-malu.
“ Woooo…..” Serentak sahabat-sahabatnya bersuara.
“ Zoland-nya mana? Nggak ikut ngumpul? “ Tanya Yudha.
“ Sebentar lagi sampai,” jawab Stephani. “ Tadi sik katanya sudah dekat …..” Belum selesai bicara, gadis itu menegakkan punggungnya, menatap kearah pintu masuk restaurant. “ Itu Zoland “
Dan semua mata beralih kearah mata Stephani memandang. Menatap sosok laki-laki tegap, berkulit eksotis dengan wajah tampan yang unik, mendatangi meja mereka dengan senyum merekah.
“ Selamat sore semua,” sapanya.
Stephani langsung berdiri dan mendekatinya. “ Teman-teman, kenalkan ini Zoland “
Serentak yang ada disitu bergantian bersalaman dan mempersilahkan laki-laki itu bergabung. Lalu mereka terlibat pembicaraan seru tentang rencana pernikahan Stephani dan Zoland, sambil menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan.
“ Rayan ya? “ Tiba-tiba terdengar suara berat seorang, yang berdiri dekat meja mereka.
Yang dipanggil menoleh kearah suara, begitu juga yang lainnya. Mendapati seorang laki-laki tinggi kurus, berkulit pucat, memakai sweater biru tua dan topi baseball berwarna senada.
“ Dion? Kamu Dion kan? “ Rayan berdiri dan menghampiri laki-laki itu. Kemudian keduanya saling berjabat tangan erat. “ Apa kabar? Kemana aja? Nggak datang kenikahanku. Kenalin ini istriku, Belinda “ Kata Rayan bersemangat. “ Dan ini teman-teman, kenalkan, ini Dion Raditya, teman kerjaku dikantor yang dulu. Tapi sekarang sudah jadi pengusaha sukses dia “
Semua berdiri dan menyalami laki-laki itu. Tidak semua ternyata, kecuali Marinka yang hanya terpaku dikursinya sambil menatap dengan wajah yang sulit ditebak.
Yang lain mulai menyadari, ketika akhirnya laki-laki itu juga terdiam menatap Marinka. Suasana berubah menjadi aneh. Semua yang disitu bergantian melihat kearah Marinka dan Dion.

5
“ Kalian saling kenal? “ Suara Rayan memecah keheningan.
“ Halo Inka,” sapa Dion sambil mengangguk canggung. Perlahan tangannya membuka topi baseball-nya, memperlihatkan kepalanya yang tanpa rambut sehelaipun. Dia terlihat sangat pucat namun masih menyisakan garis-garis ketampanan diwajahnya yang tirus.
“ Iya,” ucap Marinka pelan, nyaris berbisik.
“ Kami pacaran waktu kuliah,” senyum Dion dengan nada tenang.
“ Inka nggak pernah cerita,” kata Soraya cepat, menatap Marinka yang kini salah tingkah.
“ Yuk duduk sama-sama kami,” ajak Belinda berniat mencairkan suasana. Rayan segera menarik satu kursi dari meja kosong disebelah. Sementara Dion dan Marinka sama-sama memperlihatkan keberatan dengan bahasa tubuh mereka.
“ Duduk sebentar kak Dion,” Stephani bersuara. “ Nggak ada salahnya nostalgia kan? “ Dia menatap Marinka dan Dion bergantian dengan tatapan lembutnya.
Walaupun sepertinya Marinka masih memperlihatkan keberatannya, ternyata Dion lantas duduk dikursi diantara Rayan dan Yudha, tepat didepan Marinka.
“ Pesan minum dulu, bro,” ujar Rayan sambil melambaikan tangan memanggil waitress dekat situ.
“ Air mineral saja, tidak dingin,” kata Dion. Suaranya memang berat, tapi sangat tenang.
Marinka mengaduk jus jeruknya dengan sedotan, masih salah tingkah. Stephani yang duduk disampingnya, memeluk pinggang Marinka, seolah ingin menenangkan.
“ Maaf tidak datang waktu kalian menikah,” ujar Dion sambil menoleh kearah pasangan Rayan-Belinda.
“ Dia diundang juga? “ Tanya Soraya pada Rayan dan Belinda.
“ Iya,” sahut Rayan.
“ Dibagian daftar teman-teman Rayan? Iya dia diundang,” Belinda menambahkan.
“ Dan kamu nggak datang? “ Tanya Soraya lagi.
Yang lain tertawa.
“ Beb, kan tadi dia juga bilang,” ujar Yudha sambil mencubit pinggang kekasihnya dengan mesra.
6
“ Bukan begitu, beb,” sergah Soraya cepat, sambil membalas mencubit lengan Yudha. “ Dion melewatkan kesempatan melihat Marinka pakai gaun cantik banget “ Soraya tertawa kecil. “ Tapi kamu masih single atau sudah berkeluarga, Dion? “ Tanya Soraya menatap Dion, tanpa tedeng aling-aling. Begitulah dia, ceplas-ceplos apa adanya.
Yang ditanya tertawa sambil mengusap kepalanya. “ Masih single,” sahutnya ringan.
“ Woooo…..” Soraya berseru sambil senyum-senyum melihat kearah Marinka. “CLBK bisa kali…”
“ Apa sik Aya? “ Spontan Marinka protes. “ Because semua sudah punya pasangan, doesn’t mean saya juga harus punya pasangan sekarang “
“ Oh, kamu juga single? “ Kali ini Dion menatap Marinka lekat-lekat, dengan senyum menggoda.
Kontan semua tertawa.
“ Single, available “ Tegas Soraya, mengedipkan sebelah matanya.
“ Datang ya ke pernikahan kami nanti,” kali ini Zoland angkat bicara. “ Masih enam bulan lagi kok “
“ Nah, cukup waktu untuk PDKT ulang kaaan…..” tambah Soraya, mengompori.
Marinka tersenyum pasrah. Percuma mau protes atau ngomong apapun juga. Hatinya sudah cukup berantakan dengan kehadiran tiba-tiba dari seorang Dion, pada saat pikirannya sedang tertuju pada rencana hari bahagia Stephani. Dia yang paling mahir mengorganisir teman-temannya untuk membuat event khusus diantara mereka, sebelum hari H, memdadak bingung dan tak tahu harus bagaimana.
Suasana yang semula canggung, kembali mengalir hangat. Selain karena celetukan-celetukan menggoda terutama dari Soraya kepada Marinka, obyek candaan juga terarah pada Stephani dan Zoland. Ternyata Zoland tak kalah rame, bahkan cenderung jadi partner kompor mengompori apa saja bersama Soraya. Sampai-sampai Stephani dan Yudha sepakat untuk bertukar pasangan, tentu saja dengan nada bercanda.
Dion dan Marinka yang lebih banyak ikut tertawa saja, tanpa berkomentar selain senyum-senyum. Sesekali mata keduanya beradu pandang dan bertukar senyum. Kecanggungan mereka berdua perlahan sirna. Marinka tidak lagi salah tingkah. Dia mulai bisa duduk dengan postur rileks ditempat duduknya. Sesekali memperhatikan Dion yang terlihat lebih kurus dari semasa mereka pacaran dulu. Yah, dari dulu Dion tidak bisa gemuk dan memang langganan Rumah Sakit karena cepat sekali jatuh sakit, terutama bila terlalu capek.

7
                “ Eh…sebentar…sebentar….” Tiba-tiba Soraya berkata, ketika semuanya selesai tertawa mendengar jokes yang dilontarkan Zoland. Semua pandangan tertuju pada gadis itu.
                “ Numpang tanya nih, mohon dijawab oleh yang bersangkutan…” kata Soraya seraya memandang Marinka dan Dion bergantian.
                “ Saya? Inka? “ Tanya Dion yang merasa mendapat tatapan penuh Tanya Soraya.
                Marinka cuma tersenyum saja.
                “ Yup, “ sahut Soraya.
                “ Tanya aja, tapi jangan susah-susah,” ujar Dion sambil tertawa kecil.
                “ Kenapa dulu kalian putus? “ Tanya Soraya sambil memicingkan kedua matanya.
                “ Ya ampun beb….kepo banget sih kamu,” kata Yudha sambil tertawa gemas.
                Yang lain ikut tertawa.
                “ Sepertinya Dion tipe setia,” Zoland menimpali. “ Inka juga “
                “ Nah,” cetus Soraya.
                “ Setia, setiap tikungan ada,” Rayan tergelak. “ Eh enggak…enggak….bener itu, Dion pekerja keras dan terlihat anti cewek. Sampai dulu ada yang mengira dia gay “
                Dion tersenyum. Matanya menatap Marinka lekat-lekat. Yang dipandangi membalas, kali ini cukup tenang.
                “ Mau saya yang jawab atau kamu? “ Tawar Marinka tenang.
                “ Nggak penting siapa yang jawab dan kasih alasan apa,” ujar Dion tanpa melepas tatapannya. “ Yang jelas saya tahu kamu tahu, kita sama-sama tahu kenapa “
                “ Ealaaah…..kayaknya gak usah nunggu enam bulan, mereka sudah balik jadian lagi nih,” kata Soraya dengan mimik lucu.
                Yang lain tertawa, termasuk Dion dan Marinka. Hanya saja keduanya bertukar tatap penuh arti. Hanya mereka berdua yang memahami isi hati masing-masing. Sepertinya begitu.
                                                                END OF PART 1

Minggu, 24 November 2013

THE WEDDING



Cuaca Jakarta yang tidak menentu saat ini, bisa mendadak panas mendadak hujan, sepetinya tidak terlalu berpengaruh pada ketiga sahabat yang asyik ngobrol di cafe, ditemani capucino dan cemilan. Minggu sore disebuah cafe di Jakarta.
                “ Gaunnya yang ini ajah, Inka, cakep deh,” celoteh Soraya sambil menunjuk kesebuah gambar dalam majalah yang dipegang sahabatnya.
                “ Badanku kan nggak sekurus itu, Ayaaaa....” Protes Inka.
                Stephani terkikik geli, sementara Soraya melotot dengan pandangan gemas.
                “ Tapi ini kan garisnya bisa bikin kelihatan kurus, “ dia nggak mau kalah.
                “ Yowes, aku ajah yang pakai gaun model itu,” kata Stephani.
                “ Idih, malah dia yang mau, “ protes Soraya. “ Nggak cocok, kamu malah kelihatan makin kerempeng nanti “
                Marinka dan Stephani sama-sama tertawa geli. Soraya cemberut, tapi Cuma sebentar, dia sudah biasa lagi dan kembali membuka-buka halaman majalah bertema khusus tentang segala hal yang berbau pernikahan.
                “ She is so lucky,” gumam Soraya. Matanya masih tak lepas pada gambar-gambar majalah ditangannya.
                “ Siapa, Aya? Model itu? “ Tanya Inka sambil tersenyum.
                “ Bukanlah! Belinda...” Sahut yang ditanya.
                “ Karena mendapatkan Rayan? “ Tanya Stephani dengan muka lugu.
                “ Menurut lo? “ Soraya balik bertanya.
                Marinka dan Stephani tertawa bersamaan.
                Sebenarnya membahas masalah pernikahan adalah hal sensitif ditengah mereka. Bukan hal yang tabu sih, hanya saja bisa memicu perdebatan yang kadang tak ada ujung pangkalnya. Tapi kali ini mereka harus membahasnya karena dua minggu lagi Belinda, salah satu teman mereka yang juga kerap ikut ngumpul bersama, akan menikah dengan Rayan, pacarnya sejak dua tahun lalu. Dan yang lebih penting lagi, Belinda meminta ketiganya menjadi pengiring pengantin yang akan dipasangkan dengan sepupu-sepupu Belinda yang kebanyakan laki-laki itu.
                “ Kata Bee, aku bakalan berpasangan sama Tommy, karena tinggi kita setara, “ suara Stephani. “ Tommy itu yang waktu itu nyupirin kita ketempat wedding planner kan yaaaa? “ Tanya Stephani.
                “ Iyah, untung kamu sama Tommy, anaknya masih lugu begitu. Nah aku sama Samuel, udah pecicilan, pakai anting sebelah pula. Jangan-jangan gay....” ujar Soraya.
                “ Hush, enggak lah “ Sergah Marinka. “ Yang kutahu Sam baru putus sama pacarnya...umm..siapa tuh namanya, oh iya....Lisbeth “
                “ Iya, tapi udah putus kaaaan? Siapa tau karena Samuel-nyaaa.....” Soraya senyum-senyum sendiri.
                “ Aya nggak boleh gitu, “ protes Stephani. “ Nanti kalau kamu jatuh cinta sama dia, gimana? “
                “ Betul itu, “ tambah Marinka menimpali. “ Biasanya yang tadinya ogah jadi he eh, yang tadinya benci, jadi cinta “
                “ Kompor deh Inkaaaa....” Soraya tergelak. Stephani dan Marinka ikut tertawa.
                Tawa ketiganya baru berhenti, ketika Belinda datang, dikawal ketiga sepupunya. Stephani langsung nyengir didekati Tommy yang tersenyum malu-malu. Samuel yang justru tanpa malu-malu, duduk disamping Soraya dan mengulurkan tangannya, ngajak salaman. Disambut dengan senyum canggung Soraya. Dan Marinka yang hanya bisa menatap sepupu Belinda yang satu lagi, yang kebetulan memang belum pernah diperkenalkan sebelumnya.
                “ Hai gadis-gadis cantikku,” sapa Belinda sumringah. “ Kenalkan ini Yudha, nanti jadi pasangannya Inka “
                “ Amin, “ celetuk Soraya spontan.
                Kontan yang lain tertawa ramai. Sementara Inka dan Yudha ikut senyum-senyum dengan wajah canggung.
                “ Dan semoga Soraya juga beneran jadi pasanganku nantinya, “ ujar Samuel tak mau kalah. “ Ada amin sodara-sodara? “
                “ Ah elu, in your dream lah, “ sahut Soraya membelalakkan matanya.
                Yang lainnya kembali tertawa.
                Perbincangan sore itu adalah tentang persiapan pernikahan Belinda dan Rayan dan segala tetek bengeknya. Segalanya memang sudah ditangani Wedding Planner, tapi soal gaun pengantin dan pengiring pengantin, Belinda ingin mengurusnya sendiri dibantu trio Marinka, Soraya dan Stephani. Dari cafe, mereka menuju penjahit langganan Belinda untuk fitting, lanjut  makan malam disebuah resto masakan Jepang terkenal.
                Disatu sisi meja, Stephani, Tommy dan Belinda sibuk membahas sesuatu, disisi  lain Samuel terlibat pembicaran seru dengan Soraya. Seru, soalnya yang cowok kebanyakan ngeledek yang cewek, yang cewek nggak mau kalah. Sementara Marinka dan Yudha lebih banyak diam, sesekali senyum-senyum melihat yang lainnya.
                Seorang waitress datang dan membereskan hidangan utama yang sudah habis dimeja dan waitress yang lain membawakan dessert, Ogura ice cream.
                “ Aku mau ke smoking room dulu ya, “ tiba-tiba Yudha berdiri, menoleh sekilas pada Marinka dengan senyum tipisnya dan berlalu.
                Marinka cuma bisa membalas senyum. Yang lain langsung berhenti ngobrol dan melihat kearah Yudha yangberjalan keluar.
                “ Bareng, bro “ Samuel lantas berdiri, diikuti Tommy. Ketiganya lantas pergi.
                “ Are they smokers? “ Tanya Soraya kepada Belinda.
                Yang ditanya nyengir. “ Yudha dan Samuel iya, Tommy enggak “
                Soraya tersenyum kecil.
                “ Kenapa, Aya? Masalah ya? “ Tanya Belinda.
                “ Enggak, selama cowok itu bukan pacar “ Ketiga sahabat itu menyahut berbarengan, lalu tertawa.
                Belinda ikut tertawa. “ Kalian ini! Selalu bikin aku iri! Kalian dan kekompakan kalian, persahabatan kalian “
                “ Kamu juga sahabat kami kan,” Stephani memeluk Belinda dengan manja.
                “ Kamu justru bikin kita iri, karena punya Rayan, “ cetus Soraya. “ Sementara kita-kita belum menemukan yang kita cari “
                “ That’s true, “ tambah Marinka nyengir. “ We just have our L box “
                “ Bener “ sambut Stephani dan Soraya menyetujui.
                Belinda tertawa kecil. Dia sudah cukup lama mengenal ketiga sahabat itu dan berbagai cerita mereka.
                “ But we won’t give up, “ kata Stephani.
                “ Yak,” timpal Soraya.
                “ Idem,” kata Marinka.
                “ That’s what I like about you, girls,” senyum Belinda.
                “ Eh ngomong-ngomong, ice cream jatah tuh cowok-cowok kita abisin ajah kali yeeee,” ujar Soraya.
                Yang lain menyambut dengan tawa. Kemudian keempatnya menikmati dessert dan menutup malam itu dengan hati hangat. Persahabatan memang selalu indah.
*
               
Lagu-lagu romantis yang dibawakan oleh seorang penyanyi yang bersuara lembut, diiringi baby grand piano putih yang berada disebuah Gazebo yang terletak agak disudut taman, membuat suasana sore itu semakin romantis. Tema “Simply White” yang dipilih, membuat segalanya serba putih. Ratusan mawar putih berpadu dengan bunga-bunga lain, pita-pita dan ratusan lilin kecil dan lampu-lampu yang semuanya berwarna putih, menyambut tamu-tamu yang wanitanya bergaun putih atau ada nuansa putihnya, sesuai dengan dress code yang disarankan pada undangan. Sementara para pria memakai jas resmi. Karena tamunya juga hanya sekitar 200 orang, suasananya jadi begitu akrab dan casual. Resepsi pernikahan Belinda dan Rayan memang dibuat untuk orang-orang terdekat saja, bukan resepsi besar-besaran yang kadang mempelainya nggak kenal dengan orang-orang yang datang. Diadakan di  taman luas sebuah villa milik orangtua Rayan, didaerah puncak.
                Ketika wedding singer menyanyikan lagu A Thousand Years milik Christina Perri, perhatian para undangan undangan segera tertuju kearah pintu utama, ketika dua penari balet remaja masuk sambil menari dan menebar helaian mawar putih. Kemudian Belinda masuk digandeng Rayan. Belinda terlihat cantik dengan rambut tergerai dihiasi hiasan rambut bak putri dalam dongeng. Bergaun putih menyapu lantai yang sederhana tapi elegan. Rayan dengan setelan jas putih. Keduanya menebar senyum bahagia kepada para tamu. Dibelakangnya, Stephani, Soraya dan Marinka digandeng pasangan masing-masing, tak kalah cantiknya dan ketiganya bergaun selutut dengan warna broken white dan rambut tergerai dihiasi mahkota dari bunga segar.
                Acara yang dipandu seorang MC yang sudah cukup dikenal sebagai presenter disebuah televisi swasta, mengalir dengan santai dan nggak terlalu formal seperti permintaan kedua mempelai. Seperti biasa, ada acara potong cake pengantin, suap-suapan dan lempar bunga tangan. Dan yang dapat ternyata salah seorang tamu yang kalau dilihat paling-paling umurnya masih 18 atau 19 tahun.
                “ Taelah tuh anak bau kencur malah dapat bunga,” komentar Soraya dengan muka kocak. Ketiga sahabat itu berdiri dekat cake pengantin cantik bersusun tiga.
                “ Tenang, itu gak jamin dia bakalan dapat jodoh secepatnya kok,” tiba-tiba sebuah suara dari arah belakang terdengar. Ketigamya langsung menoleh kearah sumber suara. Ternyata Yudha yang ngomong, sementara Samuel dan Tommy juga ada dekat situ sambil senyum-senyum.
                “ Aku bersedia berhenti merokok, if you ask me to,” kata Yudha lagi, sambil matanya menatap Soraya dalam-dalam, mengulurkan tangannya.
                “ Oh, jleb,” cetus Samuel sambil bergaya pura-pura dadanya tertusuk sesuatu, lantas tersenyum lebar, mengedipkan sebelah matanya kearah Soraya.
                Melihat adegan itu, Marinka dan Stephani kontan memandangi Soraya yang terlihat salah tingkah dengan pipi memerah. Keduanya tergelak. Jadi?
                Wedding singer menyanyikan lagunya Shania Twain, From This Moment, Kedua mempelai berdansa ditengah taman yang dilapisi karpet merah dengan hamparan white rose petal. Disusul beberapa pasangan ikut berdansa.
                “ Will you...” Yudha berkata lagi, tangannya masih terulur pada Soraya.
                Setengah ragu Soraya menyambut. Keduanyapun menuju ke tengah taman, berdansa. Diiringi tatapan kedua sahabatnya yang tersenyum melihat adegan diluar dugaan itu.
                “ Sudahlah my baby, biarkan mereka bahagia. Ikutan slow dance ajah yuk,” Samuel memeluk pinggang Marinka dengan ringan, seolah tanpa beban dan membawanya ketengah. Marinka tak menolak.
                Tinggal Stephanio dan Tommy saling pandang. Seperti biasa Tommy terlihat canggung dan malu-malu.
                “ Sudahlah,” Stephani menarik tangan Tommy. Keduanya menyusul berdansa.
                Langit malam yang cerah dihiasi bintang-bintang bertaburan dengan cantiknya, seakan ikut memeriahkan hari bahagia itu. Dan ternyata bukan hanya kedua mempelai yang menikmati kebahagiaan dimalam yang romantis itu. Selesai pesta, ketika para tamu satu persatu meninggalkan pesta, Soraya duduk berdua Yudha disudut taman. Keduanya tampak ngobrol dengan asyiknya. Sesekali Soraya menyibak rambut tebal ikalnya, sementara mata Yudha lekat menatapnya. Sesekali keduanya tertawa lepas.
                Dari sudut yang lain Marinka memperhatikan.
                “ Kamu nggak cemburu, Sam?” Tanya Marinka dengan nada menggoda, pada Samuel yang juga sedang menatap kearah pasangan Soraya-Yudha.
                :” Nope! Kamu? “ Balas yang ditanya sambil nyengir.
                “ Enggak lah, malah seneng kalo sahabat lagi seneng, “ sahut Marinka tersenyum.
                “ In fact, he’s jelous on me,” cetus Samuel kemudian terbahak.
                Marinka menatap penuh senyum. “ Really? “
                “ Yudha pikir aku naksir Soraya,” kata Samuel disela tawanya.
                “ Dan kamu sebenarnya enggak? “ Tanya Marinka setengah menggoda. “ Dua minggu lebih kita banyak sama-sama karena nyiapin pesta Belinda. Kulihat kalian akrab sekali “
                “ Umm...” Samuel menggaruk kepalanya. “ Bukan masalah naksir, Ka. Soraya itu lucu, kalo digodain gak mau kalah jadi aku suka godainnya ajah. Lain sama kamu dan Stephani yang senyum-senyum doang “
                Marinka tersenyum.
                “ Aku baru putus, Ka. Masih dalam masa berkabung, “ Samuel mengusap leher belakangnya, matanya lalu menatap kearah lain.
                Marinka masih tersenyum.
                Jadi laki-laki juga bisa berkabung karena broken heart? Masalah hati memang bukan monopoli perempuan saja. Kalau patah atau retak, urusannya panjang. Bahkan untuk laki-laki seperti Samuel yang terlihat seenaknya, easy going dan sepertinya nggak pedulian. Masalah hati memang tak bisa diduga.
*
                Stephani sibuk menikmati semangkuk mie ayam dihadapnnya dengan lahap. Marinka malah sudah selesai daritadi, kini sibuk melamun, entah mikir apa.
                Tiba-tiba sosok semampai memakai setelan abu-abu dengan blus biru bergaris merah yang cerah, datang menghampiri dan menyapa dengan suara khasnya.
                “ Maaf ya ciiiin....telat nih “ Soraya langsung memeluk satu per satu sahabat-sahabatnya.
                “ Iya deh maklum kalo lagi jatuh cinta, teman jadi nomer sekian,” ledek Marinka.
                “ Boleh bilang cie cie nggak? “ Stephani pasang muka polos.
                “ Ga boleh, “ sahut Soraya tersenyum lebar. Lalu duduk dan melambaikan tangannya pada seorang waitress yang berdiri tak jauh dari situ.               “ Mie ayam panggang satu ya mbak, sama teh es tawar, “ ujarnya.
                “ So? “ Marinka menatap sahabatnya itu dengan tatapan menggoda.
                Ini pertemuan pertama mereka sejak pesta Belinda seminggu yang lalu. Ketiga sahabat belum pernah ketemuan lagi, hanya komunikasi via bbm saja dan tampaknya hubungan Soraya dengan Yudha berlanjut.
                Soraya tersenyum, manis sekali. Ada binar-binar bahagia dimatanya. Sepertinya tanpa harus diperjelas dengan kata-kata, suasana hatinya jelas terlihat. Jatuh cinta memang menbuat senyum menjadi lebih sumringah, membuat pipi selalu bersemu merah dan mata yang memancarkan rasa bahagia.
                “ Boleh bilang cie cie nggak? “ Stephani masih memasang tampang polosnya, tapi kali ini ditambah cengiran khasnya.
                Soraya dan Marinka kontan tergelak. Soraya mengulurkan tangannya memeluk Stephani. Yang dipeluk terpekik kaget karena membuat kacamatanya melorot. Dia segera membetulkannya.
                “ Salahmu pakai kacamata segala, gaya-gayaan “ Soraya mencubit gemas pipi sahabatnya.
                “ Biar kelihatan pinter, “ Stephani nyengir lagi.
                “ Dasar,” Soraya mencibir.
                “ Is he the one? “ Marinka bertanya, penasaran. Matanya menatap sahabatnya sambil senyum-senyum.
                “ Dunno yet, but sure I hope he’s the one,” sahut yang ditanya, balas menatap. Nadanya terdengar cukup mantap, tak terdengar ragu.
                Stephani menatap Soraya dalam-dalam, “ Boleh bilang....”
                “ Stephani! “ Soraya dan Marinka berteriak kecil bersamaan.
                Ketiganya tertawa tergelak-gelak.
                “ Boleh deh boleh, “ akhirnya Soraya menyerah sambil mengacak-acak rambut Stephani yang dibalas dengan cemberut manja yang punya rambut.
                “ Cie cie cieeeee,” ujar Stephani sambil membetulkan rambutnya, dengan nada cuek.
                “ Kamu enggak jadian sama Tommy? “ Tanya Soraya pada Stephani.
                “ Sama aja dengan pertanyaan ke Inka, kamu gak jadian sama Samuel? “ Stephani nyengir. “ Apa semua orang harus punya cerita yang sama? Hanya karena kita bertiga bersahabat dan jadi pengiring pengantin sama-sama? “
                Soraya tertegun sejenak. “ Kamu nggak suka aku jadian sama Yudha? “ Tanyanya pelan.
                Marinka ikut melihat kearah Stephani yang masik sibuk memegang-megang rambutnya.
                “ Seneng, suka, nggak masalah,” sahut yang ditanya masih dengan wajah polosnya.
                “ Terus? “ Desak Soraya.
                “ Enggak ada terusannya, “ sahut Stephani ringan.
                “ Hmm....kamu juga suka sama Yudha? “ Tebak Marinka dengan suara lembut.
                Walaupun berusaha disembunyikan, ada sedikit kilatan dimata Stephani yang tertangkap oleh kedua sahabatnya.
                “ Ouch, “ Soraya menghempaskan dirinya kesofa. “ I wish I knew it earlier...”
                “ Enggak...enggak...enggak begitu...” Stephani meraih tangan Soraya. “ Jangan salah paham. Postur Yudha mirip Zoland walaupun wajahnya enggak sama sekali, “ katanya berusaha menjelaskan.
                “ Sure? Cuma karena itu? “ Desak Soraya menatap tajam.
                “ He eh,” angguk Stephani cepat, tanpa ragu.
                “ Dia jujur,” uicap Marinka. Diantara ketiganya Marinka memang yang paling sensitif dalam membaca situasi dan body language orang lain.
                “ Syukurlah “ Ada kelegaan dalam nada bicara Soraya.
                Bagaimanapun mereka bertiga pernah berikrar bahwa cinta takkan merusak persahabat mereka. Jadi tidak ada ganjalan diantara mereka, semuanya harus dibicaran secara jujur dan terbuka.
                “ Tentu saja aku jujur,” ujar Stephani tertawa kecil. “ Dari belakang Yudha terlihat seperti Zoland, tapi dari depan ya enggak sama sekali “
                Soraya terseyum.
                “ Kamu ternyata nggak bisa lupain Zoland ya adek kecil? “ Tanya Marinka penuh senyum.
                “ Nggak akan, nggak mau,” sahut yang ditanya.
                “ Dia memang paling kekeuh kalo soal ginian, “ timpal Soraya. “Emangnya kita, bisa noleh ke yang lain selama itu belum sreg banget,” tambahnya.
                “ Idih kita, kamu ajah kali,” protes Marinka kalem penuh senyum.
                Ketiganya kembali tergelak.
                Pesanan Soraya datang dan Stephani langsung mmencomot sepotong ayam panggang dari mangkok dengan supitnya, tak peduli Soraya melotot.
Pembicaraan malam itu berlanjut membahas tentang sosok bernama Yudha yang ternyata sejak semula naksir Soraya dan berharap dia yang berpasangan dengan Soraya, bukan Samuel. Dan kenapa dia jadi begitu pendiam saat Samuel selalu bercanda dengan Soraya. Dia takut sepupunya itu juga naksir Soraya. Ternyata Samuel yang kenal pribadi Yudha yang sebenarnya, dapat merasakan kekhawatiran itu dan akhirnya mereka ngobrol terbuka tentang hal itu. Samuel juga yang memberitahu Yudha bahwa Soraya tidak suka cowok perokok. Yang mengagetkan adalah, Yudha serius berhenti merokok demi bisa mendekati Soraya.
“ Dia serius ya? “ Tanya Marinka menatap sahabatnya.
“ Iya,” sahut Soraya balas menatap.
“ Bagus. Sudah saatnya,” ujar Marinka. “ Ikut seneng dengernya “
“ Hayaaah bakalan jadi pengiring pengantin lagi ini judulnya,” Stephani memajukan bibir tipisnya, membuat wajahnya menjadi lucu, membuat sahabat-sahabatnya tertawa melihatnya.
“ Nggak secepat itu juga kali,” kata Soraya.
“ Nunggu apa lagi sih? “ Tanya Stephani.
“ Ya nunggu dilamar lah, masa mau nikah sendirian nggak ada pengantin prianya? “ Sahut Soraya sambil tergelak. Marinka ikut tertawa.
“ Iya juga ya,” Stephani tertawa sambil menepuk kepalanya sendiri.
“ Aku beruntung mempunyai kalian,” kata Soraya sungguh-sungguh.
“ So pasti itu,” sambut Stephani, nyengir.
“ Kita ikut bahagia kalo salah satu dari kita bahagia, ikut sedih kalo salah satu dari kita sedih,” tambah Marinka.
Persahabat mereka memang indah. Seperti kasih yang tak berjarak dan berbatas. Sudah pasti ada cinta didalamnya, cinta yang tulus dan tidak memikirkan diri sendiri. Mengetahui ada orang lain yang mau susah dan senang bersama kita, membuat hidup ini lebih indah dan nyaman untuk dijalani. Meskipun waktu yang berjalan akan membawa segala perubahan kearah yang tidak pernah pasti dan tidak pernah bisa diprediksi dengan tepat. Cinta dan kasih membuat segala yang sulit menjadi lebih mudah.
***


(Ras Al Khaimah, Nov 2013)